Tak Berkategori  

Menilik Kisah Rumah Bubungan Tinggi (Bagian 1)

Rumah Bubungan Tinggi, merupakan salah satu jenis rumah adat tradisional khas suku Banjar di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Laporan Jurnalis koranbanjar.net, MUHAMMAD IRSYAD, Kabupaten Banjar

Jenis rumah khas suku Banjar ini, hampir punah termakan zaman. Sebab, kurangnya peminat yang kini beralih menjadikan rumah pribadi dengan nuansa modern.

Kendati demikian, masih ada yang melestarikan peninggalan budaya Banjar ini. Salah satunya, Rumah Bubungan Tinggi di Jalan Martapura Lama Nomor 28 RT. 4, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kota Martapura, Kabupaten Banjar.

Menurut sejarah, tipe rumah panggung tersebut telah berusia 209 tahun. Rumah ini dibangun pasangan suami istri (pasutri), HM Arif dan Hj Fatimah sebagai pemilik awal pada 1811.

Kemudian, rumah ini diwariskan secara turun temurun agar tetap selalu terjaga dan dilestarikan.

Tim koranbanjar.net berkesempatan, mengunjungi rumah khas suku Banjar ini ditemani sang pemilik rumah bernama Fauziah.

Terpantau, benda peninggalan terdahulu di rumah ini masih terawat dengan baik. Seperti lemari, piring, gelas, enceng, buyung, tala, panginangan, tajau dan lain-lain.

Fauziah, merupakan keturunan keempat dari pemilik awal. Ia menjelaskan, kebanyakan rumah jenis ini sekarang dibangun hanya untuk instansi pemerintah. Akan tetapi, bukan terbuat dari bahan kayu ulin. Melainkan, dengan bahan beton.

“Rumah Bubungan Tinggi ini, terdapat beberapa anjungan. Terdepan, yaitu pelataran,” ujar Fauziah.

Pada anjungan depan terdapat rumah tamu, yang terbagi menjadi dua bagian yaitu anjungan kecil dan besar.

“Anjungan kecil, untuk tamu anak-anak. Sedangkan, anjungan besar untuk tamu orang dewasa,” ungkapnya.

Menuju ruang tengah, mesti melewati dua pintu yang diberi tirai, sebagai penutup anjungan. Khusus, untuk tamu perempuan.

Adapun, ditemukan anjungan kanan dan kiri. “Anjungan kanan, digunakan sebagai kamar tidur untuk orang tua. Sedangkan, anjungan kiri digunakan untuk anak-anak,” papar Fauziah.

Ia membeberkan, pada anjungan kanan terbelakang terdapat ruang pingit. Digunakan untuk calon mempelai perempuan, menjelang hari pernikahan.

“Minimal, tujuh hari sebelum hari pernikahan, calon mempelai perempuan harus tinggal di ruang tersebut. Tak boleh keluar, jika tanpa keperluan penting,” ucapnya.

Wanita paruh baya ini juga menceritakan, ruang paling belakang terdapat dapur untuk tempat memasak dan makan keluarga.

“Letak dapur, sedikit ke bawah. Kita harus menuruni tangga terlebih dahulu, untuk menuju kesana,” lanjutnya.

Seperti diketahui, Rumah bubungan Tinggi berawal hanya dibangun untuk Istana Kesultanan Banjar. Namun, ketika Kesultanan Banjar di hapus pada akhir abad XIX (19), maka rumah jenis ini dibangun orang Banjar yang kaya raya.

Kini, Rumah Bubungan Tinggi dijadikan cagar budaya. Dilindungi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. (ykw)