Menghabiskan masa tua hanya sebatangkara tanpa ada keluarga yang menemani dan merawat bukanlah harapan setiap orang. Namun itulah nasib yang harus diterima kakek satu ini. Ia harus pasrah menjalani sisa umurnya, dengan keadaan yang tidak berdaya untuk keberja. Dia hanya mengharap sesuap nasi dari belas kasih orang sekitarnya. Bagaimana cerita hidup kakek Syamsuri ini, ikuti tulisan berikut.
HENDRA LIANOR, Astambul
SYAMSURI, begitu panggilan akrabnya sehari-hari. Sejak lahir, dia tinggal di desa Munggu Raya Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar. Memasuki usia yang ke 66 ini, dia harus menghabiskan sisa umurnya di gubuk yang jauh dari kata layak.
Di dalam Gubuk yang luasnya kurang lebih 2×3 meter inilah tempat ia berteduh dari sengat matahari dan dinginnya malam. Tak ada yang mewah dalam kediamannya tersebut, hanya sebatas alas untuk tidur yang sudah lusuh dan beberapa alat masak di dapur yang juga menyatu ruangan untuk ia merebahkan kepala.
Rumah yang tidak tinggi membuatnya harus membungkukkan badan kala ingin keluar ataupun masuk rumah. Jika ada yang ingin datang bertamu, maka haruslah berhati-hati berjalan kala memasuki jembatan sampai rumahnya, karena beberapa papan jembatan dan halaman rumahnya ini sudah kelihatan agak lapuk.
Ketika turun hujan sering tidurnya terganggu karena dikejutkan oleh titik hujan yang berasal dari atap bolong menetes ke tubuhnya. Bahkan ketika banjir datang, ia harus memasang kayu beberapa keping agar tempat tidurnya tidak dijangkau air banjir yang masuk ke rumah.
Dikisahkan Syamsuri, selama hidup, dia tidak pernah nikah berdasarkan keinginan atau hasratnya. Tetapi dia hanya pernah 1 kali menikah, hanya karena diminta tolong untuk menutup aib wanita yang dinikahi, itu terjadi sekitar 10 tahun yang silam atau saat berusia sekitar 56 tahun. Karenanya, dia tidak pernah mempunyai anak, karena tak ada biaya untuk melaksanakan pernikahan. Sempat ada pujaan hati, namun apalah daya rezekinya belum ada.
Pernah satu kali ia menikah dengan seorang perempuan yang sudah hamil tua untuk menutupi aib keluarganya. Bahkan pernikahan itu Syamsuri mendapatkan Rp7 juta. Namun pernikahan tersebut hanya sebatas akad saja bukan untuk benar-benar ingin membangun rumah tangga. “Kala itu sampai anaknya lahir kami berpisah, karena memang hanya untuk menutupi aib keluarganya” ceritanya.
Rumah yang tempati ini merupakan rumah yang dibangunkan oleh masyarakat sekitar secara swadaya sejak kurang lebih 20 tahun lalu. Jauh sebelumnya ia sempat bertempat tinggal yang masih tidak jauh dari Masjid Darul-Muhajirin desa Munggu Raya tempat yang ia tempati sekarang, dengan orang tuanya beserta saudara-saudaranya.
“Saya dulu bertempat tinggal dengan orang tua di depan sana dengan ukuran yang tidak jauh ukurannya dengan yang ini,” ucapnya sambil menunjukkan ke arah depan rumah mengisyaratkan dimana ia bertempat tinggal dulu kala. Ia merupakan anak ke 4 dari 10 bersaudara. Namun semuanya sudah lebih dulu menghadap yang Maha Kuasa.
“Ibu saya meninggal saat umur saya 13 tahun, sedangkan ayah meninggal waktu umur saya 35
tahun,” ucapnya.
Semenjak sang ayah sudah tiada ia hanya sebatang kara, bahkan rumahnya waktu itu terbuat dari kayu galam pun sudah tidak bisa dihuni lagi, karena memang kayu galam tak bisa bertahan lama. “Kayu galam tu palingan tiga tahun tahannya, limbahtu hancurai sudah,” ucapnya.Syamsuri sempat tidur di galengan sawah berupa bangunan kecil beralaskan tikar dan beratapkan terpal, sebelum akhirnya dibikinkan rumah yang sekarang.
“Guring balapik tikar purun, mayu sabauah kalambu haja. Bila musim hujan aku guring ka masjid,” tuturnya. Perabotan rumahnya yang sekarang ini, ia ceritakan bukanlah miliknya, melainkan milik masjid yang tidak jauh dari rumahnya tersebut. Mulai dari alat makan dan masak sampai listrik pun ia gunakan berasal dari milik masjid.
“Hanya tiga keping papan ini milik saya,” sambil menunjuk papan lantai yang ia duduki. Sisanya, lanjutnya, milik bantuan masyarakat dan dari masjid. “Ini semua dipinjamkan oleh masyarakat selama saya hidup,” ungkapnya.
Sakit-sakitan yang dideritanya membuat ia tidak berdaya, hanya mengharap belas kasih dari tetangga dan warga sekitar untuk keperluan hidupnya. “Biasanya tetangga memberikan berupa makanan ataupun berupa uang untuk digunakan makan sehari-hari,” ungkapnya.
Tidak banyak ia harap, hanya sebuah rumah yang layak dapat dibangunkan oleh pemerintah terkait dalam program bedah rumah. “Mudah-mudahan pemerintah dapat melihat saya dan membedahkan rumah saya menjadi lebih layak,” pungkasnya.(*)