Religi  

Lunturnya Kejayaan Taksi Pegunungan Kandangan-Batulicin

BERBAGAI rintangan harus dilalui seperti terjal, menyisi jurang dan tanjakan curam, namun saat itu bisa dibilang adalah masa kejayaannya para sopir taksi mobil colt. Kini, jalur lalu-lintas Kandangan-Batulicin nan berkelok-kelok melewati pegunungan itu sudah mulus beraspal. Kendati demikian, penghasilan mereka malah turun drastis. Mengapa?

Muhammad Hidayat, Kandangan

PAGI hari sekitar pukul 06.00 Wita, mobil colt L300 yang terlihat sudah tua berjejer di tempat biasa mangkalnya angkutan umum Kandangan-Batulicin di pertigaan muara Bundaran ketupat, Jalan M Yusi, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Tujuan mereka adalah menunggu calon penumpang yang ingin ke Batulicin.

Di bawah rindangnya pepohonan ketapang, cukup teduh bagi para sopir untuk menunggu penumpang yang belum pasti ada. “kawa jua kah ba-hari raya mun kaya ini haja,” ujar salah satu sopir, Abdullah berbahasa Hulu Sungai.

Setahu saya, kalimat itu sering diucapkan mana kala ekonomi sedang “tipis” sehingga tidak bisa merayakan lebaran seperti orang kebanyakan, seperti mengenakan baju baru atau open house dengan menyediakan berbagai macam hidangan untuk tamu.

Yang pasti, ucapan keluar dari mulut sopir angkutan umum Kandangan-Batulicin itu menggambarkan bepata lesunya penghasilannya. Ia bergumam, seharusnya semakin mendekati lebaran akan semakin banyak penumpang yang ingin mudik.

“Dalam dua hari ini makin sepi, turun seminggu sekali hasilnya buat hidup sehari pun bisa habis,” ujar Abdullah, Rabu (29/5/2019). Ia sudah menjadi sopir taksi Kandangan-Batulicin sejak tarif 25 ribu sampai sekarang 100 ribu.

Diungkapkan Abdullah, ia sudah menjadi sopir rute tersebut lebih dari 30 tahun dan merasakan perubahan zaman dimana sejak dahulu sekitar 20 sopir dan sekarang tersisa kurang lebih 5 sampai 10.

“Kebanyakan yang lain berpindah profesi, ada yang sekarang jadi ojek, ojek bentor (becak motor) maupun menjadi pedagang,” ungkap pria asal Desa Kaliring Kecamatan Padang Batung, HSS itu.

Dari Kandangan menunggu penumpang berangkat paling lambat pukul 08.00 Wita, kemudian pulang besok paginya atau hari berikutnya lagi membawa penumpang dari Batulicin. “Karena jika berangkat lambat menunggu sampai penuh kasian penumpang yang punya kesibukan perlu cepat,” paparnya.

Ia mengatakan sangat jarang penumpang sampai penuh, tetapi untuk menutupi kerugian biasanya membawa angkutan pulang asal Batulicin yang lumayan lebih banyak daripada Kandangan.

Itupun masih banyak pertimbangan jika hanya satu-dua penumpang yang ada akan dilempar ke rekan lain, sebab jarak 200 kilometer pegunungan biasa menguras bensin sampai 25 liter.

“Pulang pergi untuk bensin saja sudah 400 ribu rupiah, belum ongkos makan dan minum yang tahu sendiri biaya di Tanah Bumbu lebih mahal, belum biaya perawatan mobil yang lebih menguras tenaga dari jalanan datar,” ujarnya.

Abdullah mengisahkan, sejak dahulu para supir berangkat mengangkut bergiliran, tetapi yang dulunya bisa 2 hari sekali, sekarang seminggu sekalipun pun untung. “Sehari biasa cuma satu mobil yang berangkat, sisanya menunggu keberuntungan” ujarnya.

Penurunan jumlah penumpang diakuinya dan rekan-rekannya dipengaruhi banyaknya mobil plat hitam yang bebas mengangkut bahkan menjemput dari rumah sampai tujuan akhir.

Ia berujar mobil plat hitam mudah kemana-mana hanya dengan SIM dan STNK, sedangkan mobil angkutan umum banyak aturan yang harus dipatuhi. Setelah sampai ke kilometer 6 penumpang terpaksa mencari angkot lain atau ojek lagi dan itu menyulitkan penumpang.

“Kendala kami terminal kota (Batulicin) jaraknya sangat jauh di Batulicin sedangkan kami hanya dibatasi sampai kilometer 6 jalan transmigrasi, otomatis orang memilih yang sampai tujuan, dengan mobil yang lebih mewah pula,” ujarnya yang di-iya kan rekan-rekannya.

Di sekitar jalan transmigrasi Kandangan-Batulicin memang banyak mobil pribadi mewah berbagai merek berplat hitam lalu-lalang bermuatan penuh.

Ia mengatakan para sopir pernah mau melakukan aksi unjuk rasa sampai boikot, tetapi setelah diperiksa ternyata ada juga mantan rekan sesama supir yang ikutan mengangkut dengan mobil plat hitam. “Kan kada purun kakawalan jua (Tidak tega ternyata teman juga),” tuturnya.

Tetapi ditengah masalah yang tidak bisa mereka atasi sendiri ini pada intinya mereka bersyukur masih ada masyarakat yang mempercayakan angkutan konvensional, sebab jalan daerah rawan kejahatan akan berbahaya jika dilalui kendaraan bermotor sendiri ataupun mobil pribadi. (yat/dra)

Lunturnya Kejayaan Taksi Pegunungan Kandangan-Batulicin
Muhammad Hidayat/Jurnalis KoranBanjar.net