Tak Berkategori  

Korupsi “LEGAL” yang Terorganisir

Oleh Pimred koranbanjar.net ; Denny Setiawan

SEBAGIAN masyarakat awam mungkin tidak memahami, bahkan sangat tulus membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB), retribusi sampah, retribusi parkir, biaya pembuatan izin serta berbagai sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya, baik ke Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Dalam kurun waktu selama satu tahun anggaran, PAD tersebut masuk ke kas negara, kemudian kembali disusun melalui rangkaian APBN / APBD. Penggunaannya tentu untuk berbagai sektor, ya pendidikan, kesehatan, infrastruktur, gaji ASN, pembelian perlengkapan aset negara, olahraga, kesenian dan lain-lain.

Namun sayang, sebagaimana banyak diketahui, mulai proses penghimpunan PAD, penyusunan anggaran hingga pengunaan uang negara tersebut kerap ditemukan berbagai tindak korupsi oleh oknum-oknum pemangku jabatan, baik di legislatif maupun di eksekutif. Ironisnya tindak korupsi itu dilakukan berlindung di balik sebuah peraturan.

Ada penggunaan aset negara yang disewakan, semisal bangunan pasar, namun biaya sewa yang dipungut dari masyarakat yang (diduga) tidak disetorkan ke kas negara. Ada pengelolaan parkir yang terang-terangan menggunakan aset negara, kemudian biaya parkir dipungut, tetapi tidak diketahui jelas, entah disetor kemana?

Bukan hanya itu. Adapula lahan atau tanah pribadi yang disiapkan jauh-jauh hari untuk kepentingan publik, kemudian dibeli dan dijual kembali kepada pihak lain dengan menggunakan kewenangan, agar memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.

“Rekayasa” atau cara-cara seperti ini tak hanya terjadi pada anggaran-anggaran yang besar. Tetapi anggaran-anggaran pada sektor kecil sekalipun terkadang lumayan untuk “dipeloroti.”

Contoh, pengalokasian anggaran di bidang pariwisata, kesenian atau olahraga. Kedengarannya sepele, tetapi bisa ditelusuri, penggunaan anggaran-anggaran seperti itu bukan tidak mungkin hanya beredar di lingkungan tertentu atau didominasi oleh orang-orang yang dekat dengan pemegang kebijakan.

Tidak mustahil pula, penyusunan anggaran seperti itu “kental” dengan aura titipan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sehingga pengguna anggaran yang dikumpul dari uang rakyat itu tidak terealisasi dengan benar dan merata atau penggunaannya tidak seluruhnya mewakili aspirasi masyarakat luas.

Tidak hanya itu, kadangkala antara pihak pemohon atau penyusun anggaran dengan pengguna anggaran berada pada personal yang sama. Mereka yang mengajukan permohonan anggaran, namun mereka pula yang menggunakan atau biasa disebut pengguna “plat merah.” Kata lain, “menciptakan” berbagai kegiatan yang seolah berasal dari aspirasi masyarakat luas, padahal sesungguhnya hanya memenuhi keinginan segelintir kelompok untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Inilah yang (mungkin) dapat disebut sebuah tindak korupsi ilegal yang menjadi “legal” karena terorganisir dari atas ke bawah, bawah ke atas. Namun demikian, perbuatan buruk suatu saat akan terendus. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, suatu saat pasti akan tercium. (*)