Tak Berkategori  

Kontroversi Peniadaan Sholat Jumat, Bagaimana Pendapat Anda?

Oleh: Pimred KoranBanjar.Net ; Denny Setiawan

Sudah dua pekan ini, sebagian besar umat muslim harus “legowo” dengan fatwa yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengganti sholat Jumat dengan sholat Dzhuhur di rumah masing-masing. Tujuannya untuk menghindari penyebaran virus corona (Covid-19) di tengah masyarakat.

Berbagai argumen atau pendapat pun berseliweran di media umum maupun media sosial. Ada yang setuju dengan peniadaan Sholat Jumat, untuk mencegah virus corona. Namun sebaliknya, adapula yang tidak setuju dan berpendapat, antara lain, “mati adalah urusan Tuhan, kalau ajal sudah tiba tidak mesti disebabkan virus corona. Bahkan di rumah pun bisa saja mati dengan sebab lain.”

Tidak hanya itu, masih banyak komentar netizen di berbagai media sosial yang kontoversial. Mereka yang setuju dengan Fatwa MUI untuk mengganti Sholat Jumat dengan Sholat Dzuhur menyimpulkan, keputusan Majelis Ulama Indonesia menjadi pedoman tertinggi untuk ditaati. Mereka yang tidak setuju, justru melanggar kaidah-kaidah Syar’i yang ditetapkan dalam hukum Islam.

Akan tetapi, mereka yang tidak sependapat dengan peniadaan Sholat Jumat menyebutkan, masih ada cara atau ikhtiar yang belum dilakukan, sebelum meniadakan Sholat Jumat. Misalnya, mensosialisasikan jamaah yang boleh dan tidak boleh mengikuti sholat Jumat, menyediakan ruang sterilisasi di pintu-pintu masjid, menyediakan hand sanitizer dan lain-lain.

Kemudian, mereka yang terdeteksi menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP), dipersilakan untuk sholat Dzuhur di rumah, kemudian mereka yang tidak terdeteksi menjadi ODP tetap dipersilakan masuk masjid untuk mengikuti Sholat Jumat.

Berbagai perbandingan pun muncul di tengah terbitnya Fatwa MUI tentang peniadaan Sholat Jumat. Fenomena ini pun menjadi sesuatu yang sangat luar biasa diperdebatkan. Bahkan dari beberapa MUI di seluruh pelosok Indonesia, masih terdapat pandangan yang berbeda. Ada MUI di daerah yang mengimbau tidak melaksanakan Sholat Jumat, namun adapula MUI di daerah yang memutuskan masih membolehkan Sholat Jumat.

Perbedaan pandangan tentang hukum meninggalkan sholat Jumat, khususnya di tengah mewabahnya virus corona ini tidak hanya terjadi pada mereka yang awam. Tetapi, para ahli hukum Islam pun masing-masing memiliki pandangan dan keyakinan sendiri-sendiri. Komentar, perkataan atau ucapan yang terkesan saling mem-bully pun kerap terjadi di sebagian besar kalangan umat muslim sendiri, khususnya yang beredar di media sosial. Mereka yang setuju dengan peniadaan Sholat Jumat, misalnya “Kalau mau mati, mati aja sendiri, jangan ajak-ajak,” Lalu adapula yang berkomentar begini, “Emang lu lebih pinter dalam urusan agama? Mana pinternye ente dengan MUI,” Dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, mereka yang tidak setuju dengan peniadaan Sholat Jumat, “Dengan Corona takut, tapi dengan hukum Allah tidak takut,” Adapula begini, “Memang Corona pasti ada di dalam masjid, tapi kenapa masih ada tempat-tempat kerumunan masa yang belum ditutup.”

Pemeriksaan suhu badan sebelum masuk masjid. (foto:surabaya.net)
Pemeriksaan suhu badan sebelum masuk masjid. (foto:surabaya.net)

Mengamati perbedaan pandangan seperti demikian, sepertinya masyarakat awam tidak lagi berusaha mencari dasar yang kokoh sebagai keyakinan untuk tetap menunaikan Sholat Jumat atau sementara meniadakan Sholat Jumat untuk mencegah Corona. Tetapi perbedaan pandangan lebih cenderung menyebabkan terjadinya perpecahan sesama umat muslim karena beda pandangan. INI yang SANGAT MENYEDIHKAN.

Sebagai umat muslim saya hanya berharap agar Pemerintah memperhatikan hal-hal demikian. Mempertimbangkan dampak sosial dan dampak akidah yang timbul dari sebuah keputusan. Setidaknya menemukan formula yang terbaik, khususnya buat umat muslim dalam melaksanakan ibadah. Saya jadi khawatir, peniadaan Sholat Jumat akan meluas terhadap peniadaan Sholat Fardhu Lima Waktu, peniadaan Sholat Tarawih di Bulan Ramadan serta peniadaan kegiatan-kegiatan sakral lainnya bagi umat muslim. Walaupun itu hanya bersifat sementara, namun pada substansinya jadi “melemahkan” hukum-hukum Islam dengan dasar Fatwa MUI. Wallahu a’lam bishshwab.(*)