Konflik Pertanahan Bak “Benang Kusut”

BANJARMASIN, KORANBANJAR.NET-  Masalah sengketa tanah atau lahan adalah merupakan persoalan yang cukup pelik hingga saat ini, bukan hanya terjadi di daerah tetapi juga seluruh Indonesia pada umumnya.

Seperti yang dikemukakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Abdul Halim ketika wawancara dengan koranbanjar.net di ruangan Dekan Fakultas Hukum (FH), Selasa(28/08/2018).

Mengenai sengketa dan konflik pertanahan yang masih kompleks, Ia menjelaskan hal tersebut terjadi karena bermuara dari dua sumber. Pertama karena data yang berada di daerah khususnya pedesaan atau kelurahan tidak tercatat dengan baik pada saat terjadinya pergantian struktural aparat desa.

“Pada saat terjadinya pergantian perangkat desa, data pertanahan tidak tercatat dengan baik di samping pada waktu dulu kita belum menggunakan sertifikat tetapi hanya berupa hak milik adat,” ujarnya.

Faktor kedua adalah belum koneknya sistem informasi Badan Pertanahan Nasional(BPN) dengan Pemerintah Daerah. Sehingga data yang tercatat di BPN banyak tidak diketahui oleh pemerintah.

“Baik di Provinsi, kabupaten, kota maupun di desa, tidak terkoneksi secara online dengan BPN sehingga terjadilah ketidaksinkronan data di antara kedua pihak instansi tersebut,” jelas Halim.

Konflik pertanahan ini harus betul-betul menjadi pusat perhatian Pemerintah, karena kasus mengenai sengketa tanah bukan hanya terjadi di daerah tetapi juga menjadi permasalahan nasional.

Mengapa demikian, menurut Halim karena adanya perbedaan sistem koordinasi. Di mana Pemerintah Daerah di bawah Kordinator Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pemerintah Desa berada di bawah Kementerian Desa.

“Namun Pemerintah Desa juga bisa akses langsung ke Kementerian Dalam Negeri atau ke Pemerintah Daerah, sedangkan Badan Pertanahan ada di tingkat pusat,” papar Halim

Karena adanya perbedaan Kementerian  inilah yang menyebabkan penjaminan hak yang ada di BPN, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa menjadi masalah pertanahan bak laksana “Benang Kusut” yang begitu kompleks dalam penanganannya.

Halim juga mengungkapkan akibat terjadinya perbedaan data, ini akan membuka peluang  bagi “oknum” yang ingin mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan.

Menyinggung peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Selatan yang akan menjadi Fasilitator dalam hal penanganan penyelesaian konflik pertanahan, menurutnya hal itu sah-sah saja.

“Mereka adalah wadah aspirasi rakyat jadi sudah seharusnya sebagai wakil rakyat untuk terjun memediasi sengketa pertahanan yang menjadi permasalahan pelik bagi rakyatnya” pungkas Halim.(al/sir)