Religi  

Kisah Warga Kolong Jembatan yang Kini Bergeser ke Samping Jembatan

FEBRI, Banjarmasin

APAKAH kebodohan yang menyebabkan kemiskinan, ataukah kemiskinan yang mengakibatkan kebodohan? Sebuah kalimat pertanyaan yang pantas direnungkan ketika melihat kehidupan para tunawisma yang bermukim di samping Jembatan Antasari Banjarmasin.

Meski terlihat sangat kumuh, lusuh, dan jauh dari kesan lingkungan yang sehat, para tuna wisma ini nampak terlihat betah tinggal di samping Jembatan Antasari dengan beralaskan tikar dan beratapkan terpal.

Dari pantauan, setidaknya ada lima kepala keluarga yang tinggal menetap di samping Jembatan Antasari ini.

Salah satunya adalah Nor Janah, tunawisma yang mengaku sudah tinggal di kolong Jembatan Antasari bersama suami dan satu orang anaknya sejak tahun 2003 silam, sebelum petugas Satpol PP menertibkan bilik-bilik tempat tinggal mereka di kolong jembatan tersebut.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama keluarganya, Nor Janah harus rela mengerjakan profesi ganda, yakni menjadi pemulung dari pukul 02.00 WITA hingga pagi hari, dan menjadi pengemis pada siang harinya.

Nor Janah duduk di sela-sela perabotan kehidupannya. (mj-033/koranbanjar.net)

Hasil uang yang ia dapat dari profesi gandanya tersebut rata-rata hanya Rp 20 ribu per hari.

Sedangkan suami Nor Janah, bekerja sebagai buruh serabutan, dan putranya, Bani, yang hanya pernah mengecap bangku sekolah hingga kelas 4 SD itu, bekerja sebagai buruh pengangkut barang pada sebuah kapal angkutan minyak.

“Dua bulan lalu, tempat tinggal kami dulu di bawah jembatan, namun dibongkar oleh pihak Satpol PP, dan akhirnya kami tinggal di samping jembatan ini. Sebelum dibongkar itu, dulunya sempat ada 20 orang lebih yang tinggal di kolong jembatan itu, sekarang hanya tinggal kami lima kepala keluarga saja, termasuk keluarga saya,” cerita Nor Janah kepada koranbanajr.net, Selasa, (15/1/2019).

Dengan kondisinya yang sakit-sakitan seperti saat ini, wanita yang mengaku buta aksara karena tidak menyelesaikan sekolah dasarnya ini mengharapakan agar pemerintah terkait bisa memberikannya tempat tinggal, modal usaha dan pengobatan gratis.

“Dulu, sebelum saya bersama keluarga saya menetep di sini, kami sempat memiliki rumah dan kampung halaman. Kami asli warga Banjarmasin. Namuk pada saat itu rumah kami dibeli oleh seorang pengusaha seharga Rp 1,5 juta,” tuturnya. (mj-033/dny)