Tak Berkategori  

Kisah Perjuangan Ily (I), Sukses Jadi Atlet Di Tengah Keterbatasan Materi

Kerja keras dan sabar akan diiringi keberhasilan. Itulah makna hidup yag didapat dari Noorlaili Sari, seorang atlet wanita yang pernah membawa nama daerahnya ke panggung nasional. Kini ia menjadi anggota Satpol PP Pemprov Kalsel sesuai impiannya. Namun jalannya tak mudah, sebab ia bukan dari keluarga yang berada. Simak kisahnya.

Muhammad Hidayat, Banjarbaru

Ily sapaan akrabnya, seorang perempuan broken home yang masa kecilnya hanya tinggal bersama kakek dan neneknya, menjadi atlet gulat berprestasi Kalsel adalah puncak karirnya di dunia olahraga.

Ily memulai karir dari atletik lari saat kelas 4 SD di kampungnya Muara Ulin Kecamatan Simpur. Ia mulai mengikuti ajang tingkat Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).

Lulus SD, ia memutuskan sekolah ke kota Kandangan, karena menurutnya dengan sekolah di kota bisa membuka wawasan lebih luas, paling tidak bisa tahu bagaimana kehidupan di luar.

“Saya melanjutkan sekolah ke SMPN 5 Kandangan, yang bangunannya kini digunakan oleh BKD Diklat HSS, dan dulu orang sering mengatakan itu adalah SMP buangan,” ujarnya. SMPN 5 Kandangan sudah dibubarkan. Memang dulu jika ada siswa yang nakal atau susah diatur sering dipindah ke sekolah itu.

Tetapi bagaimanapun sekolahnya, tergantung individunya dan siapa pengajarnya, dan Ily membuktikan itu, saat mengikuti seleksi Popda bisa masuk tim inti. “Himung banar (senang sekali),” ucapnya sambil tersenyum.

Walaupun gaji jadi atlet tidak banyak, tetapi dari situ Ily bisa membiayai sekolahnya. Ia dapat menyisihkan uang untuk membeli perlengkapan sekolah.

Hebatnya lagi, menjadi atlet yang sibuk kegiatan fisik tidak membuat prestasi akademiknya kacau, Ily tidak pernah meleset dari peringkat 3 besar di kelasnya, sehingga ia mendapat beasiswa murid berprestasi dan itu meringankan beban biaya sekolah.

Setelah masuk tim inti, Ily mulai latihan rutin sekali seminggu, berangkat latihan hanya bersepeda sama seperti berangkat ke sekolah, dan digaji sepuluh ribu rupiah sekali latihan, “Ingat sekali dulu itu, uangnya dibelikan roti bakar di jembatan Loklua,” kenangnya.

Jika sekarang Ily mengaku bisa latihan di stadion di Kota Banjarmasin, dulunya hanya di lapangan tugu (Lambung Mangkurat) Kandangan yang bisa dikatakan kurang layak. Tapi dengan ketidaklayakan itu ia membuktikan bukan sebuah penghalang untuk berprestasi.

Jembatan Antaludin Kandangan menjadi saksi lelahnya latihan, seperti latihan sprint, dan di sana pula mental terasah karena sering dimarahi pelatih.

“Panas, hujan, muntah tidak tahu apa-apa tetap latihan, masalah hasil urusan belakang. Karena memang di atletik sudah ada dasar latihan fisik, meskipun yah lumayan berat untuk seusia itu,” ucap Ily yang kini sudah berusia 24 tahun.

Hasilnya, mengikuti kejuaran Popda ia mendapat medali meskipun tidak juara, “Karena saingan cukup berat saat itu atlet PPLP (Pusat Pendidikan Latihan Pelajar/Mahasiswa) yang merajai,” ucapnya.

Dari atletik lari, Ily sudah sampai tingkat nasional, mengikuti ajang O2SN di Jakarta. “Mainnya di Ragunan, sekolahnya atlet-atlet terkenal Indonesia,” kenangnya lagi.

Lulus SMP, Ily berpikir keras bagaimana bisa melanjutkan keinginan hati. “Ingin menjadi atlet yang tiap hari masuk asrama dan bisa ke daerah orang, pokoknya macam-macam dipikirkan,” ucapnya mengisahkan saat itu sering mengkhayalkan menjadi atlet profesional.

Perjalanan sesungguhnya baru dimulai setelah itu, kebimbangan saat mendaftar SMA, lalu mengikuti Porprov Kalsel sampai diikutkan pada cabor tinju. Bersambung ….