PARA penjual bambu bermalam tidur di atas rakit bambunya yang disandarkan di bibir Sungai Amandit, Desa Durian Rabung, mereka mengistirahatkan tenaga untuk perjalanan esok yang banyak menguras stamina, sebab menuju Kandangan arus sungai tidak lagi mengalir deras seperti sebelumnya.
– Muhammad Hidayat, Kandangan –
CUACA terasa sangat dingin. Binatang – binatang di hutan tampak menunjukkan eksistensinya. Itu terdengar jelas dari bunyi suara yang beragam. Semua anggota rombongan penjual bambu yang sudah batanjak setengah hari itu seperti tidak terganggu. Semua tidur pulas.
Langit mulai terang, menunjukkan pagi sudah terbit, Kamis sekitar pukul 06.00 wita. Mereka mulai mempersiapkan perjalanan lagi, dimulai dengan sarapan seadanya; sisa nasi humbal yang belum habis maupun makanan ringan yang dibawa sebelumnya.
Batanjak hari kedua, rakit bambu atau lanting sangat pelan jalannya, bahkan jika tidak didorong dengan pananjak seakan tidak berjalan.
Baca juga: Kisah Penjual Bambu (1), Mengarungi Sungai Amandit 24 Jam
Baca juga: Kisah Penjual Bambu (II) Perjalanan Sulit Mengarungi Sungai Amandit
Kedalaman airnya pun kadang ada yang membuat pananjak sampai tenggelam saat ditancapkan. Jika di hulu arus semakin deras saat air dalam, di hilir malah kondisi air sudah dalam tetapi arusnya tenang.
“Dahulu memang tidak sedalam ini, sekarang kan banyak sekali galian pasir, itulah yang mungkin yang membuat air di sini dalam,” ucap Yusuf sambil mengemudikan lanting yang berlayar begitu pelan.
Pendapat itu bisa jadi benar, sebab saat melalui wilayah Desa Kaliring sampai kampung Muara Banta, terlihat sekitar 15 pipa sedot beserta mesinnya, yang pagi itu masih belum terlihat beroperasi.
Baca juga: Kisah Penjual Bambu (III), Makan Nasi Humbal Dan Tidur Di Atas Lanting
Setengah jam di perjalanan, mereka memutuskan menepikan lanting untuk mandi bercebur di sungai.
“Kita mandi disini saja sebentar! Supaya tidak bau sampai di Kandangan,” teriak Yusuf agak keras, didengar oleh yang lainnya yang langsung menepikan lanting masing-masing.
Syukurnya kemarin malam singgah di Desa Durian Rabung sempat membeli sabun mandi. Celana dalam yang basah dipakai mandi, kemudian dimasukkan ke tas dengan dibungkus plastik agar tidak membasahi isi tas. Kemungkinan, jika dijemur tidak sampai kering saat sampai tujuan akhir.
Setelah mandi kemudian melanjutkan perjalanan lagi, sekitar satu jam akhirnya sampai ke Kandangan Hulu atau Palantingan. “Dinamakan palantingan mungkin saja karena ini tempat transaksi dan banyak berkumpulnya lanting,” ujar pria yang berprofesi sebagai guru SDN Kandihin itu.
Di sana sudah ditunggu oleh pengepul yang telah membayar saat sebelum berangkat kemarin. Syukurnya semua lanting sampai tujuan dengan selamat tanpa cacat atau pecah sedikitpun.
“Jika pecah biarlah, uangnya sudah dibayar juga,” canda Yusuf saat akan naik ke tebing.
Waktu baru pukul 09.45 wita, tergolong cepat jika musim kemarau seperti itu, sebab mulai berangkat hari sebelumnya memang lebih awal sekitar satu jam dari biasanya.
Tapi jika musim hujan, sehari pun bisa sampai sebab arusnya deras, meski harus penuh kewaspadaan saat batanjak.
Naik di permukiman Kandangan Hulu atau Gang Palantingan Kelurahan Kandangan Kota, mereka mampir makan di warung teh, adapula yang langsung pulang ke Kandihin dijemput keluarga.
Tidak lupa mereka mampir ke Pasar Kandangan yang jaraknya tidak jauh, membeli keperluan sehari-hari. Setelah itu barulah mereka pulang bersama-sama dengan naik angkutan umum.
Angkutan umum tersebut biasanya mobil pikap, yang biasa mangkal di sekitaran Kandangan Hulu. Sejak dahulu di sana menjadi halte taksi Loksado, yang tujuannya mengangkut masyarakat yang pulang ke daerah Loksado.
Saat itu Saya sedang ada urusan lain sehingga belum berkesempatan menikmati taksi Loksado, tetapi dijemput Yunus kakak dari Yusuf kembali ke Kandihin mengambil motor Saya yang masih di sana, kebetulan kami bertemu bertemu di pendopo Kabupaten saat ada acara.
Maka itu, kisah sampai di sini dahulu dan ditulisan ini tidak akan membahas taksi Loksado itu.
Pukul 14.00 wita saya sampai di Kandihin, ternyata Yusuf juga baru sampai, setelah lama berbincang baru diketahui ia sudah sangat lama tidak labuh.
Saya terkejut, ternyata Yusuf sudah lebih dari sepuluh tahun tidak labuh, tetapi kemampuan batanjaknya seperti orang baru tidak labuh seminggu. “Terakhir kali labuh sejak sebelum dibangunnya bendungan Amandit,” ungkapnya, bendung amandit mulai dibangun antara 2005 sampai 2009. (*)