Tak Berkategori  

Kisah Penjual Bambu (II) Perjalanan Sulit Mengarungi Sungai Amandit

SETIAP Rabu siang, penjual bambu di Loksado mulai menghanyutkan bambu yang sudah dirakit menjadi lanting. Melintasi jalur sungai kurang lebih 24 jam, memerlukan keahlian khusus dalam ‘menyetir’ lanting, juga bekal perjalanan di atas sungai. Bagaimana ceritanya, simak tulisan ini sampai selesai.

Muhammad Hidayat, Loksado

PAGI Rabu biasanya pengepul datang ke Dusun Kandihin, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan melihat dan bernegosiasi tentang bambu dan harganya. Jika sepakat, lanting dibayar langsung di tempat, barulah mereka bersiap memberangkatkan lanting menuju Kandangan pada siang harinya.

Membawa bekal seperlunya seperti beras, peralatan tangkap ikan, bambu buluh, peralatan tangkap ikan, selimut dan alas tidur dari kardus bekas, mereka siap berlabuh.

Labuh adalah sebutan masyarakat Kalimantan Selatan bagi seseorang yang berangkat perjalanan jauh membawa sesuatu yang dijual ke daerah lain, bisa juga berangkat membeli sesuatu dari daerah lain.

Kisah Penjual Bambu (II) Perjalanan Sulit Mengarungi Sungai Amandit.
Jurnalis koranbanjar.net Muhammad Hidayat berada di atas lanting bambu, ikut para penjual bambu dari Dusun Kandihin menuju Kandangan mengarungi Sungai Amandit.

Penjual bambu yang pada Selasa belum sempat menyeberangkan lantingnya di Umbak Kandihin, terpaksa start di tempat perakitan.

Masyarakat sepakat Umbak Kandihin sangat berisiko bagi lanting atau apapun yang melewatinya, sehingga memerlukan keahlian, kelincahan, tenaga lebih, insting tajam dan utamanya harus berhati-hati.

“Umbak Kandihin itu yang paling ditakuti orang saat labuh. Yang dikhawatirkan adalah salah jalan hingga membuat lanting terbalik arah antara depan dan belakang, tersangkut di batu hingga yang paling parah lanting terbalik,” ucap Yusuf.

Batanjak, Keahlian mengendalikan Lanting

Keahlian mengendalikan lanting dalam mengemudikannya disebut Batanjak. Sedangkan tongkat dari bambu kecil yang digunakan mengemudikan lanting dengan cara ditancap ke dalam air disebut Pananjak, biasanya panjangnya dua hingga tiga meter.

Mereka harus menyiapkan dua hingga lima batang pananjak sebagai cadangan, dikhawatirkan pananjak yang dipakai akan tersangkut dan tertinggal di sungai. Kegunaan pananjak adalah mengarahkan lanting yang berjalan mengikuti arus untuk menghindari bebatuan. Tidak hanya didorong ke dalam air, tetapi pananjak juga terkadang didorongkan ke tebing di bibir sungai agar tidak menabrak dinding.

Baca juga: Kisah Penjual Bambu (1), Mengarungi Sungai Amandit 24 Jam

Kisah Penjual Bambu (II) Perjalanan Sulit Mengarungi Sungai Amandit,
Saat lanting bambu terhalang oleh bebatuan, para penjual bambu bergotong royong untuk mengarahkan lanting lepas dari tersangkut. (foto: hidayat/koranbanjar.net)

Seorang yang sedang Batanjak harus faham betul kondisi pasang-surut air dan medan bebatuan. Terkadang jika lanting tersangkut di bebatuan besar terpaksa harus turun mendorong dan mengangkat lanting.

Misalnya saja di lokasi yang mereka sebut Bubungan, beberapa kilometer dari Kandihin, sempat ada lanting yang tersangkut, tetapi secara gotong royong mereka terjun ke air membantu mendorong.

“Dinamakan bubungan karena sangat sempit jika lanting terlalu lebar akan tersangkut. Itulah seninya balabuh yang kadang harus turun ke sungai basah lebih awal,” ucapnya dalam kondisi badan basah usai terjun ke sungai.

Mengamati Kondisi Sekitar Sungai Amandit

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 Wita. Tiga jam sudah perjalanan. Kini memasuki wilayah Dusun Ayan, Pariangan hingga Desa Malilingin. Sungai kadang berwarna hijau terang, itu karena banyaknya lumut.

“Menurut warga, semenjak ada tabat (bendungan) lumut banyak sekali karena ikan pemakan lumut yang biasa meloncati arus tidak bisa naik,” ungkapnya. Ikan yang dimasud adalah ikan Puyau, Buin dan Mangkih.

Maka dari itu warga di Kecamatan Loksado kadang mencari ikan ke hilir dari Bendungan Amandit hingga ke Kandangan, baik datang dengan lanting maupun jalur darat.

Ironisnya, jika kondisi sungai di hilir Bendungan Amandit sedang tercemar, waktu dan tenaga mereka sia-sia karena tidak bisa menyelam dan tidak bisa melihat ke dalam air sungai yang keruh.

Selain menemui banyak lumut dekat dengan sungai sekitar Desa Malilingin, Kecamatan Padang Batung, juga terlihat aktifitas pertambangan batubara. Adapula terlihat sekitar 7 titik pipa beserta mesin sedot pasir yang sebagian seperti tidak digunakan lagi.

Di perjalanan, mereka singgah sebentar beristirahat sekaligus membersihkan dahan dan membuka jalur baru untuk lanting bisa lewat dengan mudah, gotong-royong kembali dipertontonkan. Saat itu pula bertemu dengan warga dari wilayah lain yang juga labuh.

Menyeberangi Bendung Amandit

Memasuki wilayah Desa Batulaki, tak terasa hari sudah mulai sore. Jam di tangan menunjukkan pukul 17.00 Wita. Laju lanting semakin melambat, bahkan jika tidak didorong seperti tidak berjalan, pananjak yang ukuran pendek tidak sampai menanjap ke dasar sungai.

“Memang dahulu di sini sebelum ada bendungan arusnya lumayan deras dan tidak sedalam ini,” ucap pria yang profesi sebagai guru SDN Kandihin tersbut.

Mendekati Bendungan Amandit yang dibangun sejak 2005 tersebut, lanting mulai berbaris bergantian memasuki jalur lanting dengan lebar sekitar dua meter lebih, mereka bersiap menurun untuk kecepatan tinggi dengan kemungkinan basah sangat pasti.

Terlihat ada pula yang merapatkan bambu yang renggang dan lepas dari ikatannya, karena jalurnya sempit sehingga jika lebar sedikit saja lanting bisa tersangkut.

Saat ini sedang kondisi kemarau sehingga arus tidak begitu deras tetapi sangat mendebarkan, saat menurun dengan cepat tiba-tiba langsung seperti di-rem dan lanting sedikit tenggelam hampir se lutut anak kecil.

“Kadang kalau air pasang bisa tenggelam hingga sepinggang orang dewasa,” ungkap Yusuf.

Di bawah bendungan warna sungai sedikit keruh dan adapula terlihat sedikit kehitaman. Mereka berpendapat, di bawah air adalah batubara semua. Masih banyak yang kelihatan seperti batubara dan ada satu lokasi seperti bekas dikeruk.

Memasuki Desa Jelatang, hari sudah mulai gelap, mereka mulai mencari permalaman. Dengan penerangan senter kepala, mereka merencanakan bermalam di sebuah pantai berpasir. Malam itu mereka memasak masakan tradisional dan ikan tangkapan di lokasi tersebut. (dra)