Tak Berkategori  

Kisah Pemuda Tapin Pendulang Emas di Sungai Durian

Seorang pemuda dari satu Desa di Kabupaten Tapin yang merantau ke perbatasan Provinsi Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Timur dengan niatan berkerja mendulang emas, agar dapat memenuhi serta membantu keluarga keluarga di kampung halamannya.

Laporan: Hasanudin

Pemuda perantau pendulang emas di perbatasan Kalsel dengan Kaltim atau lebih tepatnya di Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru ini bernama Saiful alias Dalus berusia 34 tahun. Dirinya ikut merantau dengan kawan-kawan lainnya sejak 8 tahun silam dan masih berusia 26 tahun. Ia yang paling muda di antara teman yang lain waktu berangkat pada saat itu.

“Pemulaan tulak madam (merantau) tu tahun 2012,” Dalus mulai bercerita kepada saya, Ahad (25/10/2020) di satu kedai di Banjarbaru, waktu mau pulang dari perantauan ke kampung halaman.

Dirinya lanjut mengsiahkan pengalamannya hidup di perantauan dengan kerjaan mendulang emas di pegunungan belantara yang masuk dalam Kecamatan Sungai Durian itu. Jauh dari keluarga tentu membuatnya tak berada dalam keadaan baik-baik saja. Seperti yang dialaminya, pekeejaan medulang emas ini tak menentu, bahkan ia pernah pulang ke desanya dengan tangan hampa.

“Di samping hati yang sangat rindu dengn orang tua, waktu itu ada peringatan haul datuk nenek saya, yang membuat saya harus pulang. Sesampai di kampung, saya hanya memilki uang 200 ribu rupiah setelah di potong ongkos taksi dan lainnya di perjalanan,” lirihnya.

Sambil terus bercerita tentang kehidupannya sebagai perantau di usia yang masih tergolong muda, sesekali ia melihati jam di tangan kirinya. Katanya ia tak dapat begitu lama untuk mengobrol dengan saya, karena ia sedang menunggu jemputan travel yang sudah dipesan.

Lalu ia mengehela nafas, seperti orang kelelahan atau terlalu banyak pikiran. Setelah menyeruput kopi hitam yang dipesannya tadi, Dalus kembali melanjutkan kisahnya di pegunungan yang bernama “Gunung Soeharto” itu.

Tempat kami bekerja itu, ujarnya, dulunya hutan belantara. Namun kini sudah menjadi seperti perkampungan dengan nama kampung Kura-kura Satu. Untuk menuju Kura-kura Satu, memerlukan waktu yang cukup lama, karena jaraknya yang sangat jauh serta jalannya yang cukup rusak.

Dijelaskannya, perjalanan yang harus ditempuh jika hendak sampai di Kura-kura Satu. “(Menggunakan taksi angkutan antar kabupaten) dari Batu Licin Kabupaten Tanah Bumbu, memakan waktu kurang lebih 3 jam menuju Desa Kikil, Kecamatan Sungai Durian.

“Dari Desa Kikil ke Kura-kura Satu, jika kondisi cuaca musim penghujan, maka harus berjalan kaki dan menghabiskan waktu kurang lebih setengah hari atau 6 jam,” timpal Dalus dengan raut wajah seperti membayangkan hutan-hutan yang sering ia lalui.

Anak dari pasangan Sulaiman dan Rabiatul ini memang hanya lulusan Sekolah Dasar saja. Meski begitu, diakuinya nasib hidup yang kini ia jalani sedikit lucu. “Mengapa begitu,” tanya saya.

Ia menjawab, menurutnya, banyak juga kehidupan serupa dirasakan teman sekampung maupun kampung tetangga, yang juga harus mencari pekerjaan di perbatasan Provinsi, luar daerah hingga ke Negara lain. Padahal ia tinggal di satu kabupaten yang mana tanahnya cukup subur, kekayaan alamnya melimpah ruah .

“Harusnya kita kawa haja begawi di perusahaan-perusahaan kah, atau dibuatkan keterampilan napakah supaya kawa beusaha dari kebisaan nang didapat di situ,” ketusnya.

Memang, seperti yang diketahui, Tapin, Kabupaten tempat Dalus tinggal merupakan salah satu Kabupaten penghasil batubara terbesar di Kalimantan selatan.

Sambil ingin menyalakan rokok yang dari tadi belum dihisapnya, tiba-tiba mobil yang ia pesan untuk mengantarnya pulang ke tumpah darah datang. Dalus pun langsung merogoh sakunya untuk membayar kopi yang diminumnya dan pamit ke saya. “Bedahulu lah, assalamu ‘alaikum,” doanya. “Wa ‘alaikumus salam” jawab penjaga kedai.

Begitulah sedikit kisah pahit manis anak perantau yang mencari penghasilan di kota orang, jauh dengan sanak saudara, jauh dengan kerabat, jauh dengan kampung halaman yang dicinta.