Kisah Pejuang Koran sebelum Menghembuskan Nafas Terakhir (Bagian I)

Lelaki setengah baya ini biasanya berjalan dengan langkah cepat. Usai sholat subuh, dia sudah menyisir jalan raya, menerobos kabut, melewati jalur kanan jalan (dari arah Martapura), tembus Jl Rahayu melintasi Jl Panglima Batur hingga tiba di Jl A Yani Km 33, persis Pertigaan Lampu Merah Lok Tabat Banjarbaru, dengan jarak perjalanan hampir 10 kilometer. Tiap pagi sekitar pukul 07.00 wita, pengguna jalan yang berhenti sembari menunggu lampu hijau, dipastikan sering menemui dia sedang menjajakan berbagai surat kabar lokal. Pagi tadi, Senin (24/06/2019), sekitar pukul 09.55 wita, dia menghembuskan nafas terakhir.

BANJARBARU, Denny Setiawan

SEKITAR tahun 2010-an, sebagai penanggungjawab divisi pemasaran sebuah media cetak lokal, saya sering berkeliling untuk memastikan jumlah oplah penjualan koran dari para agency koran hingga kanvaser (loper koran) di setiap kabupaten / kota di Kalimantan Selatan. Salah satu yang sering menjadi perhatian utama saya adalah seorang loper koran yang kerap mangkal di pertigaan Jl A Yani Km 33, Lampu Merah Lok Tabat Banjarbaru.

Tiap pagi saya perhatikan, loper koran yang bernama Abdurrahman, perantau asal Sulawesi Selatan ini menyisir jalan raya dengan berjalan kaki dari Kota Martapura menuju Lok Tabat Banjarbaru, sambil mengapit bundalan berbagai surat kabar di samping pinggangnya. Langkah kakinya begitu cepat, meski beban yang dibawanya terlihat cukup berat.

Mengalami patah tulang pada kaki.
Mengalami patah tulang pada kaki.

Meski demikian, tak sedikit pun mimik wajahnya menunjukkan rasa lelah atau terbebani dalam menjalani aktifitas sehari-hari sebagai loper koran. Hidupnya penuh bersemangat, terik matahari yang membakar tubuh tak membuat Abdurrahman menyerah.

Profesi sebagai loper koran membuat warna kulitnya menjadi hitam lebam, karena setiap hari terbakar sengat matahari. Perawakkanya tidak meyakinkan sebagai Pejuang Koran yang Tangguh, selain kecil juga kurus.

Satu ketika, saya pernah menyinggahi Andurrahman selagi menjajakan koran di Pertigaan Lampu Merah Lok Tabat. Kemudian saya bertanya, “Mengapa bapak harus jalan kaki dari Martapura hingga Lok Tabat Banjarbaru?” Dia menjawab dengan simpel, “Saya memang tidak memiliki sarana transportasi,” sahutnya.

Alasan itu membuat saya harus berinisiatif mengusulkan pemberian sebuah sepeda pancal melalui perusahaan, agar dia bisa setiap pagi membawa koran dari Martapura hingga Lok Tabat Banjarbaru dengan lebih ringan. Tetapi apa? Kendati sudah mendapatkan bantuan sepeda pancal, dia tetap memilih untuk tetap berjalan kaki. Di lain waktu, saya kembali menanyakan, “Lho..mengapa sepedanya nggak dipakai?” tanya saya. Dengan enteng dia pun menjawab, “Kalau saya berjalan dari Martapura hingga Loktabat Banjarbaru, terkadang di tengah jalan, banyak yang beli koran. Selain itu, buat olahraga sekalian,” ucapnya.

Setelah itu, beberapa tahun saya tak pernah lagi menjalin komunikasi dengan Sang Pejuang Koran ini. Terakhir saya sempat terperanjat begitu mendengar kabar melalui medsos, bahwa dia telah mengalami kecelakaan hingga menyebabkan tulang kakinya patah. Ironisnya, selain mengalami patah tulang, dikabarkan dia juga menderita tetanus. Oleh berbagai komunitas sosial dia langsung dilarikan ke RS Idaman Banjarbaru pada Sabtu, (22/06/2019). Namun sangat disayangkan, selang dua hari kemudian, tepatnya hari ini, Senin (24/06/2019), jiwanya tak tertolong.(bersambung)