Tak Berkategori  

Kisah Angkutan Loksado Yang Hampir Punah Digerus Zaman

TERSEOK-SEOK mobil pikap L300 tua itu saat melewati tanjakan curam di jalan menuju Loksado. Setiap hari hanya mengangkut penumpang dua hingga lima orang. Sepi. Sudah tidak seperti dulu lagi. Zaman telah berubah. Tinggal sedikit yang masih bertahan dengan usaha jasa angkutan ini.

Muhammad Hidayat, Loksado

MOBIL pick-up bak tertutup itu setiap harinya beroperasi mengangkut penumpang dari Loksado menuju Kota Kandangan maupun sebaliknya. Biasanya membawa warga Loksado yang bertujuan membeli bahan dagangan hingga keperluan pribadi ke pasar Kandangan.

Sekitar pukul 08.00 Wita, jika tidak ada kendala di perjalanan maka angkutan Loksado akan tiba dan menurunkan penumpangnya di tempat bernama Muara Biluy, Jalan Hassan Basery Kandangan Kota.

Selanjutnya sopir menunggu satu hingga dua jam sampai penumpangnya selesai belanja di Pasar Kandangan. Menuju Pasar Kandangan sekitar satu kilometer, para penumpang bisa berjalan kaki maupun menyewa jasa becak.

Sekitar pukul 11.00 Wita, penumpang tadi kembali dengan belanjaan masing-masing. Barang-barang disusun di depan bak mobil. Setelah semua naik, mobil berangkat menuju Loksado. Tidak lupa di perjalanan sopir mengisi bensin. Biasanya mengisi di eceran, sebab di SPBU sangat jarang tersedia.

Mobil bergerak sangat pelan, sekitar 20 kilometer per jam. Itupun beberapa kali singgah di perjalanan. Sebab tidak semua penumpang turun di Loksado, misalnya ada yang turun di Desa Halunuk atau di Desa Lumpangi saja.

Apabila di tanjakan, mobil keluaran 90-an itu seakan tak mampu tapi dipaksakan. Pun demikian saat turunan, bunyi knalpotnya seperti merengek kesakitan. Menuju Loksado treknya turun-naik dengan tikungan tajam. Ada setidaknya lima anjakan yang dirasa sangat melelahkan bagi kendaraan tua ataupun pengendara baru.

Seorang sopir angkutan Loksado Indara mengatakan, dahulu dekade 90-an masih banyak sopir rute tersebut, tetapi sekarang tinggal 4 yang masih beroperasi. Itupun bergantian, paling banyak dua sopir yang beroperasi dalam sehari.

“Hari ini yang lain (sopir) tidak turun, sebab sepi juga penumpangnya. Sekarang orang sudah banyak memiliki motor sendiri bahkan mobil masing-masing. Saat ini satu kali angkut paling dapat 3 hingga 5 orang saja,” ucap Indara kepada koranbanjar.net, Rabu (7/8/2019) siang.

Indara menceritakan, saat ini profesinya hanya bermodal nekat. Penghasilan tidak menentu dengan rata-rata paling banyak 50.000 rupiah sehari, sehingga sopir lain lebih memilih bertani.

Sekali naik jika dari Loksado tarifnya 15 ribu rupiah per orang, arah baliknya 15 ribu lagi. Jika membawa barang banyak dikenai 20 ribu rupiah. Tetapi tidak semua penumpang harga demikian, sebab semisal yang turun di Halunuk, akan dikenai tarif lebih murah.

Sementara mobil tua itu boros bensin. Tidak kurang 15 liter bensin untuk pulang pergi Kandangan-Loksado. Sehingga paling tidak dengan harga bensin eceran saat ini 9000 rupiah, sudah memerlukan biaya 135 ribu rupiah.

Indara mengakui sudah sejak awal tahun 90-an menjadi sopir angkutan Loksado dengan mobil yang dipakainya saat ini.

“Sekitar 10 tahunan ini menurun drastis penumpangnya. Akibatnya, berkurang juga jumlah sopirnya,” ucap pria asal Desa Loksado Kecamatan Loksado itu. Kendati demikian, keberadaan angkutan Loksado ini tetap diperlukan.

Seorang penumpang asal Dusun Kadayang Desa Haratai Risda mengatakan, sangat terbantu dengan adanya angkutan Loksado. “Terutama bagi perempuan, apalagi sudah tua. Mereka bisa mengandalkan angkutan ini untuk membawa barang belanjaan yang banyak di Pasar Kandangan,” ucapnya. (*)