Jalan Sunyi Berita Seni

Penulis : Ega Wardhani
(Manager Program Basurah Yayasan Palatar)

RABU (20/2), Yayasaan Palatar menggelar Basurah 1.0 di Anjungan Saidah dan Adinda, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Banjarbaru. Basurah 1.0 mengangkat tema tentang pertautan antara pers dan seni, sebagai sebuah upaya pengembangan seni budaya. Bagaimana pers menempati peran yang penting dalam publikasi seni, kritik seni, pamer karya dan pemberitaan seni itu sendiri.

Basurah yang pada malam itu dimulai sejak pukul 20.00 Wita, menghadirkan tiga panyurah yaitu Novyandi Saputra (Kritikus Seni), Sandi Firly (Redaktur, jurnalis) dan Sumasno Hadi (Akademisi seni).

Diskusi dibuka Novyandi Saputra dengan pembahasan tentang ruang kritik seni pada media massa yang diterima ataukah diabaikan.

“Kritik seni pada media massa hadir untuk memberikan nafas yang lebih panjang terhadap karya seni” ujar Novyandi Saputra.

Pada sisi lain, seperti yang dipaparkan Novyandi, menjadi kritikus seni seperti dibiaskan oleh banyak orang. Kritik seperti selalu diartikan dalam konteks negatif. Padahal, kritik hadir untuk memberikan dokumentasi yang bersifat lebih membongkar karya seni dalam wilayah estetik-artistik.

Seniman yang menerima kritik, juga jarang kemudian melakukan diskusi dengan kritikus. Baik berupa balasan tulisan ataupun bertemu langsung, untuk kemudian karya dan tulisan kritik mampu hadir saling mengisi sebagai sebuah pengetahuan.

Sandi Firly, memaparkan tentang keberadaan pers di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang kekurangan wartawan serta ruang pada media massa, baik cetak maupun online. Selain itu, menurutnya seorang wartawan mempunyai gengsi ketika berhasil mendapatkan berita seperti kriminal atau korupsi, dibandingkan dengan berita seni, yang biasanya pun hanya sebatas informasi.

“Kegiatan seni jarang sekali dipublikasikan di media massa. Kalaupun dipublikasikan, hanya sebatas informasi, bukan analisis” ujarnya.

Bagi Sandi, hingga saat ini masih banyak kawan-kawan seniman yang mengirimkan tulisan mereka baik berupa puisi, cerpen, opini, esai dan kritik seni. Hal itu dikarenakan adanya rasa kebanggaan ketika tulisannya berhasil masuk dalam media, sebagai sebuah pembuktiaan kekaryaan.

Tulisan tidak sembarangan terbit, harus masuk meja redaktur untuk kemudian dikurasi dan disesuaikan dengan ruang media tersebut. Sistem kurasi oleh redaktur ini menjadi poin penting bagi para penulis seni yang mengajukan tulisannya ke media massa.

Sumasno Hadi menambahkan, bahwa pers sebagai media massa dapat menjembatani karya seni kepada publik. Hal ini berkaitan dengan konteks karya seni yang merupakan  subjektivitas seniman. Teks yang dihadirkan seniman berupa makna-makna dan simbol-simbol yang tidak mudah dipahami masyarakat umum. Kritikus berperan untuk membuat karya seni itu terang.

Hadirnya media digital dan media sosial, memberi dampak yang lumayan mudah untuk akses menerbitkan sebuah pemberitaan seni. Pemberitaan seni kemudian bisa lebih mudah diterbitkan.

Sumasno Hadi menjelaskan, bahwa hadirnya ruang alternatif itu merupakan bagian dari bagaimana kita memaknai sisi positifnya.  Artinya, itu bisa dimafaatkan yang kemudian bisa saja melahirkan sebuah kebiasaan publik dalam mencari pemberitaan seni.

Pada rentang diskusi yang berjalan dengan santai diterangi purnama, terjadi saling silang pendapat tentang posisi pemberitaan seni. Kritik, review, pamer karya dan lainnya, masih dianggap tidak begitu penting bagi media cetak yang mapan di Kalsel.

Radius Ardanias Hadariah menyikapi hal tersebut dengan melihat keadaaan seni di Kalsel, saat ini belum berada pada wilayah industri, sehingga kritik seni tidak mampu berdiri kuat untuk menambah value sebuah karya seni.

Hal tersebut berbeda dengan negara-negara atau daerah yang memposisikan seni dalam wilayah industry. Kritik seni menjadi salah satu bagian yang membuat orang hadir dalam sebuah pertunjukan karya seni.

Radius juga menjelaskan, seni-seni tradisional yang memiliki nilai adiluhung tidak masuk dalam wilayah kritik seni, karena posisi seni ini dekat dengan wilayah ritus dan kebiasaan masyarakat.

Kesimpulan yang didapat pada diskusi yang memposisikan panyurah dan audience berada pada posisi yang setara itu, antara lain perlunya pembenahan ekosistem seni berkelanjutan, yang mana salah satunya adalah berita seni (kritik, review, pamer karya) berada pada posisi yang kuat dalam sebuah media massa.

Karya-karya seni kemudian mampu berada nilai tukar yang baik dengan adanya pemberitaan tersebut. Kritikus-kritikus pertunjukan bukan sekedar menulis reportase belaka, namun lebih pada membuat sebuah karya seni mampu dipahami dengan lebih terang oleh para apresiatornya. Maraknya media digital dan media sosial, menjadi salah satu ruang alternatif baru untuk memuat berita seni di era sekarang ini.

Program Basurah merupakan ruang terbuka untuk bertukar pikiran dan mengemukakan pendapat. Hal tersebut bermanfaat untuk menciptakan sebuah ruang dialektika yang sehat.

Dengan acara yang dikemas secara ringan dan santai, setiap orang dapat mengutarakan apa yang menjadi pemikirannya. Selain itu, Basurah bukan hanya sebagai ruang diskusi yang membahas isu-isu kebudayaan, namun juga bedah buku, bedah karya hingga orasi budaya. (ndi)