Tak Berkategori  

Indonesia Timur memang Rawan Gempa Bumi & Tsunami, Ternyata ini Penyebabnya

NASIONAL, KORANBANJAR.NET – Sejak tahun 1629, tercatat sudah banyak bencana tsunami yang melanda Indonesia, baik tsunami besar maupun kecil, khususnya wilayah Indonesia di bagian timur, yang memang rawan bencana gempa bumi dan tsunami.

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, seperti dilaporkan VOA Indonesia (afilisasi koranbanjar,net), hal itu dikarenakan adanya tiga lempengan tektonik aktif.

“Kalau kita melihat plotnya, di Indonesia bagian timur, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, lebih banyak kejadian bencana gempa dan tsunami, artinya apa? Memang wilayah di Indonesia bagian timur lebih rawan potensi gempa bumi dan tsunami. Karena apa? Interaksi geologi, seismitas yang ada di sana dipengaruhi oleh tiga lempeng tektonik aktif, lempeng di Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik,” jelas Sutopo, saat jumpa pers di Graha BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Rabu (3/10).

Senanda dengan Sutopo, pakar kegempaan dari Bidang Geologi dan Geofisika Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Hery Harjono, juga menyatakan wilayah Indonesia pada bagian timur memang memiliki risiko yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya karena mempunyai sesar palukoro yang panjang.

“Geologi wilayah di Indonesia berbatasan dengan lempeng-lempeng, di Selatan kita punya lempeng Indo-Australia, di Timur kita punya Pasifik , kemudian Utara-Barat itu kita punya Eurasia. Itu semuanya tiga lempeng raksasa itu ketemunya di Indonesia. Nah, ketiga lempeng itu membentuk serpihan-serpihan yang saling bergerak. Nah itu, di Timur kita punya patahan sesar palukoro panjang, serpihan atau kepingan lempeng itu bergerak, dan pergerakan itu bisa menimbulkan gempa,” beber Hery.

Lebih jauh, Hery menjelaskan, Indonesia sebenarnya bisa mempelajari sejarah dari kejadian gempa yang pernah terjadi di Indonesia dari sejak dulu. Menurutnya, dengan mempelajari hal tersebut, maka pihak pemerintah bisa melihat potensi adanya gempa di masa depan, sehingga bisa menyiapkan mitigasi bencana dengan baik.

Sutopo mengemukakan, bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus, mempunyai siklus atau periode yang berulang. Hal tersebut terlihat sejak tahun 1629 yang tercatat ada 176 kejadian tsunami besar dan tsunami kecil di Indonesia.

Sutopo mengungkapkan, saat ini ada 148,4 juta warga Indonesia yang tinggal di daerah rawan sedang hingga tinggi gempa bumi, dan 3,8 juta warga Indonesia lainnya tinggal di daerah rawan tsunami.

Oleh karena itu, sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat sangat diperlukan guna mengurangi risiko jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak lagi. Namun sayangnya, kata Sutopo, pentingnya mitigasi bencana dan kesadaran masyarakat masih sangat minim. Selain itu, dana untuk penanggulangan bencana pun juga masih sangat minim, bahkan berkurang dari tahun ke tahun di APBN maupun ABPD.

“Infrastruktur dan sarana, prasarana tsunami, sosialisasi, latihan serta antisipasi menghadapi tsunami masih sangat minim. APBN maupun APBD untuk mitigasi bencana juga sangat terbatas. Anggaran penanggulangan bencana di BNPB itu turun terus, dana penanggulangan bencana juga turun. Kita ingin dana siap pakai, dana penanggulangan bencana Rp 15 triliun, sedangkan yang ada saat ini hanya Rp 4 triliun, dan itu sudah bertahun-tahun,” terangnya.

Sutopo menyebutkan, saat ini Indonesia hanya mengandalkan lima alat pendeteksi tsunami atau buoy milik internasional seperti milik India, Thailand, Australia dan Amerika Serikat. Indonesia sudah tidak memiliki buoy sejak tahun 2012 karena tindakan vandalism. Alat tersebut sudah dirusak atau dicuri oleh oknum.

Jumlah Korban terus Meningkat

Sementara itu, memasuki hari kelima pasca bencana, Rabu (3/10) kemarin, jumlah korban meninggal akibat gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, telah mencapai 1.407 orang. Jumlah korban meninggal tersebut berasal dari Kota Palu sebanyak 1.177 orang, Kabupaten Donggala 153 orang, Kabupaten Sigi 65 orang, dan 12 orang dari Kabupaten Parigi Moutong.

Sedangkan jumlah korban meninggal yang sudah dimakamkan di TPU Pabuya ada 519 orang. Sebelum dimakamkan, jenazah-jenazah tersebut juga telah diidentifikasi.

Menurut Sutopo, sejauh ini belum ada laporan warga negara asing yang meninggal dunia.

Untuk jumlah korban luka berat yang sedang dirawat di rumah sakit mencapai 2.549 orang. Korban hilang tercatat 113 orang, dan korban yang masih tertimbun 152 orang. Jumlah pengungsi tercatat 70.821 orang yang tersebar di 141 titik. Sementara itu jumlah rumah rusak tercatat sudah mencapai 65.733 unit. Semua angka-angka tersebut diperkirakan masih akan terus bertambah.

“Kami perkirakan data ini masih akan terus bergerak. Karena tim SAR masih terus mencari korban, dan sudah bisa memasuki semua wilayah Donggala, Sigi, Parigi Moutong. Komunikasi sudah mulai lancar meskipun belum tercover semuanya,” pungkas Sutopo. (voa/dny)