Tak Berkategori  

Hati Nurani yang Terjual, “Biar Bodoh Asal Berduit”

Oleh Pimred koranbanjar.net (Denny Setiawan)

MENJELANG kontestasi Pilkada Serentak 2020 mendatang, beragam pendapat muncul di berbagai media sosial. Ada yang masih menilai positif terhadap proses Pilkada, namun banyak pula yang sudah antipati dengan proses Pemilihan Kepala Daerah, bahkan cenderung “masa bodoh”.

Beberapa bulan terakhir, saya mengamati banyak pendapat dari masyarakat yang masih menaruh harapan besar terhadap sebuah kontestasi Pilkada untuk menghasilkan kepala daerah yang cerdas, amanah, jujur, singkat kata ideal menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi sebaliknya, adapula yang bersuara miring, menganggap proses Pilkada tak ubahnya seperti dagelan. Semua dapat diatur dengan duit, termasuk suara masyarakat yang memilih. Tak peduli yang akan mengikuti kontestasi Pilkada atau calon kepala daerah yang ikut dari kalangan mana pun, yang terpenting adalah berduit.

Tak heran, sekelas Kepala Daerah seperti Bupati Banjar, H Khalilurrahman pun sempat melontarkan statemen yang fenomenal, “Hantu pun Bisa Menjadi Bupati, Asalkan Punya Banyak Uang.” Pernyataan tersebut seperti menegaskan, bahwa sulit menemukan proses Pilkada yang jujur dan bermartabat.

Tidak berbeda dengan pendapat-pendapat atau komentar yang sering muncul di media sosial. Sebagian netizen beranggapan, bahwa siapa pun yang akan menjadi seorang kepala daerah itu tidak penting dari mana asal dan latar belakangnya. Karena yang berperan dan menentukan terpilih atau tidaknya seorang calon kepala daerah adalah UANG.

Uang dikonotasikan bagaikan “TUHAN”. Faktor kecerdasan, memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni, jujur, amanah seolah-olah tidak berarti dan dapat dikalahkan dengan banyaknya uang. Belakangan di tengah masyarakat juga muncul istilah “Biar Bodoh Asal Berduit”, yang seakan-akan melegitimasi bahwa uang dapat menyelesaikan segalanya dalam memenangkan kontestasi Pilkada.

Pendapat bahwa uang adalah segalanya juga menyeret para elit politik, terutama mereka yang memiliki kewenangan dalam Partai Politik. Tak usah diragukan, mendapatkan “tiket” atau perahu untuk maju dalam kontestasi Pilkada bukan tanpa mahar. Bakal calon kepala daerah harus siap menyediakan mahar untuk “menebus” kursi. Hal demikian sudah menjadi rahasia umum. Proses seleksi yang dilakukan partai politik untuk mengeluarkan rekomendasi, seperti tis and propers test, survey atau apapun namanya tak ubahnya hanya sebuah seremonial. Lagi-lagi yang menentukan adalah berapa duit yang mampu disetorkan.

Sungguh ironis, terkadang latar belakang si bakal calon bukanlah pertimbangan utama, baik dia biasa-biasa saja, tidak begitu cerdas atau mungkin bodoh, bahkan sulit dipercaya untuk membawa sebuah kemajuan daerah, namun tetap memperoleh rekomendasi dari parpol melaju untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Semua lagi-lagi ditentukan oleh mahar yang disetorkan.

Begitu bobroknya pembelajaran politik di negeri ini, sampai-sampai orang bodoh pun tidak mengapa menjadi seorang calon kepala daerah, kemudian masyarakat pun pasrah saja tahu telah dibodohi. Alasan, inilah politik bukanlah jawaban. Masyarakat berhak untuk melawan, meluruskan dan menyampaikan hati nurani dengan benar.

Dalam sebuah kontestasi Pemilihan Kepala Daerah, tak ada rumus yang membenarkan bahwa kecurangan itu akan menghasilkan pemimpin yang benar dan jujur, hanya dengan uang. Pemimpin yang benar adalah pemimpin yang cerdas, mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, bukan dengan cara membeli hak konstitusi suara rakyat dengan uang, kemudian membenarkan yang salah dan memaklumi ketidakmampuan.(*)