Religi  

Fakta di Balik Wafatnya Wali Allah Jamaluddin Setelah 46 Tahun, Begini Makamnya Sekarang

Guru Badruddin (kiri), Ahmad Jamaluddin (kiri)
Guru Badruddin (kiri), Ahmad Jamaluddin (kiri)

Fakta wafatnya Ahmad Jamaluddin, seorang perantau asal Sulawesi Selatan yang telah menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Darussalam Martapura, Kalimantan Selatan, akhirnya diungkap adik kandungnya, Rafiuddin, setelah 46 tahun sejak peristiwa memilukan itu terjadi. Tidak lama sesudah Ahmad Jamaluddin menghadap ilahi, makamnya sempat ramai dikunjungi para penziarah, namun sekarang sudah tidak ramai seperti dulu.

“Dulu, waktu saya masih kecil, sering diajak orang tua ziarah ke Kubah Jamaluddin, biasanya diajak setiap Jumat pagi. Malah tiap Jumat pagi, Kubah Jamaluddin selalu ramai dengan penziarah, sekarang sudah agak berkurang,” demikian ungkap satu warga sekitar, Fatimah kepada koranbanjar.net.

Lokasi dan Kondisi Makam Ahmad Jamaluddin

Bagi masyarakat Kota Martpura khususnya, nama Gang Jamaluddin tidaklah asing di telinga. Sebuah nama gang atau jalan lingkungan yang berada di Desa Tanjung Rema RT 1, Kecamatan Martapura, Kalimantan Selatan. Nama gang tersebut sengaja diberi nama Gang Jamaluddin oleh masyarakat setempat, tidak lain untuk mengenang peristiwa yang menimpa Ahmad Jamaluddin yang wafat setelah dianiaya sekelompok orang di kawasan SPBU Martapura (sekarang Terminal Angkutan Kota Martapura) di Jl A Yani Km 40 Martapura tahun 1975.

Di ujung Gang Jamaluddin itu pula Ahmad Jamaluddin bermakam. Makamnya dibangun sangat sederhana, bercampur dengan pemakaman umum dengan ukuran sekitar 4 x 6 meter persegi. Makam berada satu bangunan atau bersebalahan, bahkan satu atap dengan rumah adik kandungnya Rafiuddin.

Di makam itu bersemayam seorang wali Allah yang sempat menggemparkan masyarakat Kota Martapura di tahun 1975 yang bernama Ahmad Jamaluddin. Sebagian ruang makam juga digunakan untuk tempat tidur keluarga Rafiuddin, yang hanya disekat dengan tirai kain. Adik kandungnya, Rafiuddin tinggal bersama istri dan beberapa anaknya.

Gang atau lorong menuju makam Ahmad Jalamuddin terbilang cukup sempit, mungkin hanya selebar 1,5 meter. Dari mulut gang menuju lokasi makam diperkirakan sejauh 200 meter, bahkan dari mulut gang, lokasi makam sudah terlihat. Jika masyarakat luar kota yang berniat ziarah ke makam Ahmad Jamaluddin tidaklah sulit. Begitu tiba di Terminal Induk Martapura di kawasan Pasar Martapura, penziarah dapat langsung menggunakan kendaraan umum seperti ojek atau becak hanya dengan menyebutkan Kubah Jamaluddin di Desa Tanjung Rema.

Dulu lokasi makam berada di kawasan yang cukup lengang, namun sekarang terbilang berada di kawasan pemukiman yang cukup padat. Sekitar makam banyak pemukiman penduduk, sedangkan makam persis berada di lokasi paling ujung (pojok).

Awalnya, makam berdiri dengan bangunan yang sangat sederhana. Namun sekarang, ada seorang dermawan dari luar daerah yang berbaik hati, sehingga bangunan mendapat renovasi. “Kalau tidak salah, ada orang dermawan asal Pontianak (Kalbar) yang membangunkan makam (renovasi),” ujar suami dari Ketua RT setempat, Busit.

Fakta di Balik Wafatnya Ahmad Jamaluddin

Sebagaimana tulisan yang diturunkan koranbanjar.net sebelumnya tentang fakta yang menyebabkan Ahmad Jamaluddin wafat tahun 1975 karena mendapat fitnah. Peristiwa yang dialami anak santri asal Sulawesi Selatan ini telah “terpendam” selama 46 tahun, baru sekarang terungkap secara detil.

Ahmad Jamaluddin adalah seorang anak santri Pondok Pesantren Darussalam yang merantau dari Sulawesi Selatan ke Kota Martapura untuk menuntut ilmu. Dia wafat di usia 29 tahun, setelah mengalami insiden penganiayaan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Ahmad Jamaluddin merupakan anak sulung dari pasangan Kamaruddin dan Suhada. Dia memilik lima saudara yaitu, Rafiuddin, Nurliati, Basmawati, Ariffudin, serta adik bungsunya yang keenam belum sempat diberi nama sudah meninggal dunia.

Ahmad Jamaluddin berasal dari sebuah desa terpencil, Desa Parasanganberu, Kecamatan Toratiah, Kabupaten Jenepontoh, Sulawesi Selatan.

Asal muncul niat menuntut ke Ponpes Darussalam, Ahmad Jamaluddin tadinya sekolah di Ponpes Darul Dakwah Al Irsyad (DDA) Pare-Pare, 200 kilometer dari Ujung Pandang. Dulu terdapat seorang santri DDA asal Kotabaru membawa kalender Ponpes Darussalam, di kalender terpasang foto-foto guru-guru besar asal Ponpes Darussalam. Nah, sejak itulah Jamaluddin bertekad menuntut ilmu ke Ponpes Darussalam Martapura, Kalimantan Selatan.

Sekarang Jamaluddin dikenang dengan sebutan Kubah Jamaluddin atau seorang wali Allah yang bermakam di Desa Tanjung Rema, Gang Jamaluddin RT 1, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar.

Fakta di balik kematian Ahmad Jamaluddin ini telah dikisahkan saudara kandungnya, yang tinggal di sebelah makam Jamaluddin yakni, Rafiuddin pada Minggu lalu, (18/4/2021).

Makam Wali Allah, Ahmad Jamaluddin di Desa Tanjung Rema, Gang Jamaluddin RT 1, Kota Martapura, Kalimantan Selatan. (foto: koranbanjar.net)
Makam Wali Allah, Ahmad Jamaluddin di Desa Tanjung Rema, Gang Jamaluddin RT 1, Kota Martapura, Kalimantan Selatan. (foto: koranbanjar.net)

Ahmad Jamaluddin Difitnah, Kemudian Disiksa

Selain menjadi anak pondok di Darussalam, Jamaluddin juga berprofesi sebagai tukang bangunan kayu (buruh bangunan) untuk membiaya sekolahnya.

Senin, 14 September 1975, Jamaluddin diminta mengerjakan pembuatan jendela rumah milik seorang anggota Polisi bernama Bago di Jl Pangeran Hidayatullah, Keraton Martapura, tepatnya sekarang belakang Rumah Dinas Bupati Banjar.

“Waktu itu, almarhum (Jamaluddin) diminta mengerjakan pemasangan kosen jendela dengan upah Rp1.500. Nilai Rp1.500 dulu itu sangat besar,” ujar Rafiuddin memulai cerita.

Setelah pemasangan korsen jendela sudah selesai, Jamaluddin bermaksud ingin mengambil upah kepada Bago. Namun upah yang diminta tidak dibayar. Akhirnya, Jamaluddin membongkar kembali kerangka jendela yang sudah terpasang. “Sewaktu membongkar, kakak (Jamaluddin) sempat diteriaki maling,” kata Rafiuddin.

Kemudian, Senin malam, 14 September 1975, bertepatan dengan 10 Ramadan 1395 Hijriah, Jamaluddin pergi dari rumah menuju Masjid Al Karomah mau melaksanakan sholat isya dan tarawih. Tepat di lokasi SPBU Martapura (sekarang Terminal Angkutan Kota), sekitar simpang 4 lampu merah arah Pasar Martapura, Jamaluddin dihadang sekelompok makelar taksi, kemudian tanpa basa-basi langsung mengeroyok.

“Yang memukuli buhan makelar taksi, termasuk salah seorang bernama Muas. Tetapi Jamaluddin punya keahlian bermain silat, sehingga pengeroyok sulit untuk merobohkan. Lalu dari arah belakang, seorang di antara mereka memukul dengan kayu balok panjang, sehingga membuat kakak (Jamaluddin) roboh,” bebernya.

Setelah roboh, Jamaluddin bukannya dibawa ke rumah sakit, melainkan dibawa ke kantor polisi. Sampai di kantor polisi, Jamaluddin disiksa lagi oleh oknum-oknum polisi, termasuk Bago.

Rafiuddin menunggu kedatangan Jamaluddin di rumah, namun sampai keesokan harinya, Selasa, 15 September 197, juga tidak kunjung datang. “Saya mengira, mungkin dia (Jamluddin) sedang melaksanakan sholat tarawih di musala Guru Ijai (Guru Sekumpul) di Keraton,” katanya.

Selasa pagi, Rafiuddin melintas di Jl Sasaran Kelurahan Keraton, Martapura, tempat wantilan papan (pedagang papan), dia bertemu dengan Bago. Kemudian Bago memanggil dirinya dan bertanya, “Di mana kakak ikam? Saya berfikir, kenapa dia tahu,” ujarnya.

Lalu, Rafiuddin berbincang sebentar, dan Bago memberitahu bahwa kakaknya, Jamaluddin ditangkap polisi, karena mengamuk di pasar. “Itu kan politik orang jahat,” katanya.

Rafiuddin bergegas menuju kantor polisi pada Selasa pagi itu. Melintas di depan rumah sakit, dia melihat dua orang polisi sedang membawa Jamaluddin, namun dia mengenali sarung asli Bugis yang dikenakan. “Saya bertanya, ini sarung kakak saya, kenapa dia? Kenapa di bawa ke rumah sakit, kedua polisi itu tidak bisa menjawab,” bebernya.

Anak Angkat Kesayangan Tuan Guru Badruddin

Selasa menjelang magrib, Jamaluddin menghembuskan nafas terakhir di RSUD Ratu Zalekha. Rafiuddin meninggalkan Jamaluddin di rumah sakit, kemudian mengabarkan kejadian itu kepada Tuan Guru Abul Qodir di Ponpes Darussalam. Berikutnya Tuan Guru Abdul Qadir memberitahukan kepada Tuan Guru Badruddin (Guru Ibad), karena waktu itu Guru Ibad menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Ponpes Darussalam. “Tuan Guru Abdul Qodir sempat kaget mendegar Jamaluddin meninggal. Sidin betakun, kenapa….?” kenang Rafiuddin.

Berikutnya, jenazah Jamaluddin diminta Guru Ibad untuk dikerjakan di Aula Darussalam. Kemudian jenazah dimandikan dan dikapankan di Aula Ponpes Darussalam, lalu disholatkan di Masjid Agung Al Karomah. “Yang memandikan jenazah saat itu, Guru Ijai (Guru Sekumpul) dan Guru Ibad (Guru Badruddin),” imbuhnya.

Usai dimandikan, Guru Ibad mengirim dua utusan meminta dirinya untuk datang melihat jenazah terakhir Jamaluddin sebelum dimakamkan. Kata utusan Guru Ibad, “Ikam jangan menangis, kalau menangis kada kutemukan dengan jenazah kakak ikam. Habis itu, jenazah di bawa ke Masjid Al Karomah,” ucapnya.

Karomah Jamaluddin Muncul di Malam Ramadan

Tadinya lokasi makam Ahmad Jamaluddin di Desa Tanjung Rema RT 1, Gang Jamaluddin, Kota Martapura, berada di tengah semak, hanya disertai jalan setapak di samping pabrik padi (sekarang permukiman).

Setelah seminggu Jamaluddin dimakamkan, Rafiuddin dipanggil Guru Ibad. Dia disuruh pada hari Jumat ke makam Jamaluddin. “Apa yang dilihat, itulah kebenaran,” ujar Rafiuddin menirukan ucapan Guru Ibad kala itu.

Pagi Jumat, Rafiuddin ke makam dan melihat penziarah yang sangat banyak. Saking banyaknya penziarah, dia tidak mengenali makam kakaknya lagi. Para penziarah sedang mengerumuni makam yang tertutup kain kuning dan kembang. “Saya sampai kebingungan, lalu bertanya kepada penziarah untuk mencari makam kakak Jamaluddin. Di mana makam anak Darussalam yang meninggal minggu kemarin?” tanya kepada penziarah. Lalu dijawab, “ya ini makamnya,” kata penziarah. Rafiuddin pun terperanjat seakan tidak percaya.

Selain itu, karomah lain yang muncul dari cerita warga sekitar makam. “Dikatakan, selama bulan puasa, makam ini terang, warga sering mendengar urang mengaji pada malam Ramadan, tapi tidak ada orangnya,” ujar dia.

Mengalami hal itu, Rafiuddin teringat pesan Guru Sekumpul saat mau mengubur, “kita akan seperti ini jua, cuma waktunya aja belum tahu. Nanti Tuhan menunjukkan aja kebenaran, ujar Abah Guru Sekumpul saat memakamkan,” ujar Rafiuddin .

Berikutnya, usai Guru Badruddin membaca talkin juga berpesan, “ikam anakku, kakak ikam ini anak kesayanganku jua. Mudahan ikam sabar, nanti Tuhan akan menunjukkan kebenaran,” imbuhnya kala itu.

Kabar Untuk Keluarga di Sulsel

Pasca wafatnya Jamaluddin, Rafiuddin mengabarkan kabar duka kepada keluarga di Sulawesi Selatan. Seminggu kemudian, barulah kabar tersampaikan karena hanya menggunakan surat. “Orang tua kami tahu setelah seminggu kemudian,” katanya.

Kasus penganiayaan asal muasal didiamkan, namun Tuan Guru Badrudddin meminta agar pihak kepolisian mengusut kejadian. Bahkan sejumlah anggota Brimob ada yang menaruh simpatik, dan mencari para pelaku. Sampai-sampai oknum-oknum polisi yang terlibat penyiksaan dipindahtugaskan ke daerah lain.

Penganiaya Kerap Masuk Penjara Hingga Meninggal

Setelah kejadian penganiayaan tersebut, otak penganiayaan, Bago dikabarkan sering dirawat di rumah sakit dan berurusan dengan pihak kepolisian, sehingga sering masuk penjara. Akhirnya dikabarkan Bago meninggal dunia di dalam penjara.(sir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *