Dua Menteri Diduga Terlibat Bisnis Tes PCR, Jokowi Didesak Mengambil Langkah Tegas

Tes sampel PCR di Rumah Sakit Pusat Pertamina di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta, 16 Desember 2020. (REUTERS / Ajeng Dinar Ulfiana)
Tes sampel PCR di Rumah Sakit Pusat Pertamina di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta, 16 Desember 2020. (REUTERS / Ajeng Dinar Ulfiana)

Presiden RI, Jokowi didesak agar mengambil langkah tegas, menyusul adanya dugaan terhadap dua menterinya yang terlibat bisnis tes PCR.

JAKARTA, koranbanjar.net –  Publik mendesak Presiden Joko Widodo agar segera mengambil langkah tegas, menyusul dugaan keterlibatan dua menterinya dalam bisnis tes PCR. Dua menteri tersebut adalah Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir, diduga terkait dengan bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Luhut memiliki saham di PT GSI secara tidak langsung melalui dua perusahaan tambang yang terafiliasi dengan dirinya, yakni PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi. Erick Thohir juga ikut terseret karena ada nama Yayasan Adaro yang ikut menjadi pemegang saham di PT GSI. Adaro sendiri merupakan perusahaan batubara milik Garibaldi Thohir yang tidak lain merupakan kakak Erick.

Genomik Solidaritas merupakan perusahaan baru yang bergerak dalam bidang penyediaan tes PCR dan swab antigen yang didirikan tidak lama setelah pandemi COVID-19 merebak pada 2020 lalu. Perusahaan ini didirikan bersama dengan pengusaha-pengusaha besar lainnya.

Pengamat kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mendesak Presiden Joko Widodo untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan keterlibatan menterinya dalam bisnis tes PCR tersebut.

Menurutnya, baik Luhut maupun Erick berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Lebih lanjut Trubus menjelaskan, adanya upaya dari masyarakat untuk melaporkan dugaan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa masyarakat sudah geram dan mencurigai berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adanya dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) pada era pandemi beberapa waktu lalu ikut memicu kemarahan tersebut.

“Harus ada langkah politik dan langkah hukum, langkah politik itu apakah diberhentikan atau mengundurkan diri di mana itu ada hak preogatif Presiden, kemudian kalau dari sisi hukum ada pembuktian secara hukum benar gak itu? Karena Indonesia itu negara hukum. Ini menjadi hal yang menarik karena kemudian ketika policy ini menjadi korupsi kebijakan, ini menjadi isu yang santer selain korupsi bansos yang dilakukan oleh Mensos sebelumnya Juliari Batubara,” ungkapnya kepada VOA.

Menurutnya, apabila Jokowi tidak bertindak maka kepercayaan publik kepada pemerintah akan terus menurun. Masyarakat, katanya, akan menganggap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanya mementingkan nilai ekonomis daripada nilai kemanusiaan.

“Rangkaian kejadian ini (membuktikan) bahwa sebuah kebijakan itu diciptakan oleh penguasa. Pada akhirnya ini muatannya adalah terkait dengan kepentingan diri dan kelompoknya termasuk kepentingan bisnis, kepentingan cuan (keuntungan,red). Jadi harus segera dilakukan penyelidikan yang kemudian setidaknya menjawab kegerahan publik karena kalau dibiarkan terus akan menjadi mempengaruhi public trust, karena kalau kita ada gelombang ketiga nanti kalau situasinya masyarakat gak percaya atau public trust-nya rendah kan berbahaya karena kita harus secara gotong royong mengatasi pandemi,” jelasnya.

Luhut dan Erick Membantah

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya memberikan klarifikasi yang ikut menyeret namanya. Dalam instagram storynya yang diunggah Kamis (4/11/2021) melalui akun Instagram pribadinya Luhut Panjaditan menegaskan bahwa dirinya tidak sedikit pun mengambil keuntungan dari bisnis yang dijalankan PT GSI.

Ia menjelaskan, PT GSI tidak bertujuan untuk mencari keuntungan bagi para pemegang saham. Luhut menyebut PT GSI merupakan kewirausahaan sosial sehingga tes PCR dan antigen tidak bisa sepenuhnya diberikan secara gratis.

“Partisipasi yang diberikan melalui Toba Sejahtera merupakan wujud bantuan yang diinisiasi oleh rekan-rekan saya dari Grup Indika, Adaro, Northstar dan lain-lain yang sepakat bersama-sama membantu penyediaan fasilitas COVID-19 dengan kapasitas besar. Bantuan melalui perusahaan tersebut merupakan upaya keterbukaan yang dilakukan sejak awal. Kenapa saya tidak menggunakan nama Yayasan? Karena memang bantuan yang tersedia berada dari perusahaan. Dan memang tidak ada yang saya sembunyikan di situ,” ungkap Luhut.

Ia menegaskan bahwa sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan baik dalam bentuk dividen maupun dalam bentuk lain kepada pemegang sahamnya. Keuntungan saham PT GSI, klaim Luhut, justru banyak dialokasikan untuk pengadaan tes swab gratis bagi masyarakat yang tidak mampu dan tenaga kesehatan di RSDC Wisma Atlet.

“Saya juga selalu mendorong agar harga tes PCR bisa diturunkan sehingga dapat terus menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Pun ketika kasus menurun awal September lalu, saya juga yang meminta agar penggunaan antigen dapat diterapkan pada beberapa moda transportasi yang sebelumnya menggunakan PCR sebagai persyaratan utama.Pemberlakukan aturan PCR yang diberlakukan kemarin, karena saya melihat adanya peningkatan risiko penularan akibat peningkatan mobilitas di Jawa dan Bali dan penurunan protokol disiplin kesehatan,” jelasnya.

Lebih jauh Luhut mengatakan bahwa dirinya tidak pernah terbiasa untuk melaporkan atau menunjukkan kepada publik segala bentuk perbuatan yang bersifat donasi seperti ini. Menurutnya ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu.

“Namun, saya berkesimpulan harus menjelaskan detail sesuai fakta yang ada dikarenakan ada disinformasi yang efeknya tidak hanya menimbulkan kegaduhan, tetapi juga memunculkan ketakutan bagi mereka yang punya niat tulus dan semangat solidaritas tinggi untuk melihat negeri ini, bangkit lalu pulih dari pandemi,” tuturnya.

“Saya terus berharap agar semangat solidaritas yang digalang oleh beberapa pihak untuk menanggulangi pandemi, bisa bermanfaat bagi pulihnya NKRI, dan bukankah itu semua harapan kita selama ini?, tutupnya.

Menteri BUMN Erick Thohir memberikan klarifikasi melalui Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Arya menjelaskan isu yang menyeret Erick Thohir tersebut sangat tendensius.

Berdasarkan data yang ada, ujar Arya, sampai kemarin tes PCR di Indonesia sudah mencapai 28,4 juta tes. Sementara tes PCR yang dilakukan oleh PT GSI baru mencapai 700 ribu tes atau 2,5 persen dari total tes PCR yang sudah dilakukan di Indonesia.

“Jadi kalau dikatakan bermain, kan lucu ya, 2,5 persen gitu. Kalau mencapai 30 persen, 50 persen itu oke lah bisa dikatakan bahwa GSI ini ada bermain-main. Tapi ini hanya 2,5 persen,” ungkap Arya.

Ia mengatakan, di PT GSI sendiri memang ada Yayasan Adaro sebagai pemegang saham., namun yayasan tersebut merupakan yayasan kemanusiaan yang kepemilikan sahamnya di PT GSI hanya enam persen.

“Jadi bayangkan, GSI itu hanya 2,5 persen melakukan tes PCR di Indonesia, setelah itu Yayasan kemanusiaan Adaronya hanya enam persen sahamnya. Jadi bisa dikatakan yayasan kemanusiaan Adaro ini sangat minim berperan di tes PCR. Kemudian di yayasan kemanusiaan Adaro ini, Pak Erick Thohir sejak jadi menteri tidak aktif lagi di urusan bisnis dan di urusan yayasan seperti itu. Jadi sangat jauhlah dari keterlibatan atau dikaitkan dengan Pak Erick Thohir. Apalagi dikatakan main bisnis PCR jauh sekali. Jadi jangan tendensius seperti itu kita harus lebih clear melihat semua,” jelasnya.

Menurutnya, ketentuan mengenai tes PCR selama ini tidak pernah dikeluarkan oleh Kementerian BUMN, dan sejauh ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kewajiban pelaksanaan tes PCR yang menunjuk labolatorium tertentu, kecuali tentunya yang sesuai standar yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan.(koranbanjar.net)

Sumber: Suara.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *