Tak Berkategori  

Di Meratus, Terdapat Puluhan Jenis Beras Yang Tidak Diperjualbelikan

Komoditas padi salah satu unggulan yang ditanam masyarakat dayak Meratus. Faktor penting yang mempengaruhi adalah luasnya lahan di Pegunungan Meratus itu sendiri, ditambah untuk keperluan aruh adat.

Beragam jenis padi yang dihasilkan. Uniknya, masyarakat adat Meratus punya kepentingan tersendiri dalam memilih jenis padi yang akan ditanam. Ikuti tulisan ini hingga selesai.

Muhammad Hidayat, Loksado

Masyarakat Dayak Meratus dikenal sebagai suku dayak yang giat dalam berusaha, terlebih di bidang pertanian, sebab pertanian adalah bagian dalam kehidupan adat mereka.

Tanpa bertani, penganut kepercayaan Kaharingan di Meratus tidak dapat melakukan ritual adatnya. Sebab semua ritual adat mengiringi proses pertanian, mulai pra menanam hingga pasca panen.

Saya berbincang dengan seorang pemerhati masyarakat Meratus, Roby. Ia mengatakan, dengan lahan yang cukup luas di wilayah pegunungan Meratus, banyak jenis beras yang ditanam masyarakat.

Di Meratus, Terdapat Puluhan Jenis Beras Yang Tidak Diperjualbelikan
Jenis beras Buyung dan beras Hitam.

Dipaparkan Roby, nama-nama beras dalam bahasa setempatnya ada beras Buyung, Carnik, Bariwit, Badagai, Santiku, Buntut Kuda, Jurai, dan beras Merah atau beras Gaib.

Nama-nama beras tersebut ujarnya, baru yang sudah ia cicipi saja. Banyak lagi macamnya tetapi belum sempat dicoba sebab saking banyaknya.

“Maunya semua jenis beras yang ada di lereng Meratus dicoba, meski sesuap dua suap. Ya sekedar melengkapi pengalaman saja,” ucap PNS di Kantor Kecamatan Loksado itu.

Di Meratus, Terdapat Puluhan Jenis Beras Yang Tidak Diperjualbelikan
Masyarakat adat Meratus saat manugal atau bercocok tanam padi di wilayah pegunungan Meratus. (foto: hidayat/koranbanjar.net)

Jenis beras lainnya yang belum disebutkan di atas seperti beras Kelapa, Kelapa Pandan, Salak, Sungkai, Siam Unus, Taring Pilanduk, Palangka, Pinang, Patiti, Gumpung, Manau, dan masih banyak lagi.

Dari sekian banyak macam nama-nama beras tersebut, banyak masyarakat di Kalsel yang belum pernah mendengarnya, apalagi mengkonsumsi.

Dengan banyaknya jenis tersebut ungkapnya, setiap warga yang bahuma (bercocok tanam, red) memiliki masing-masing kepentingan, terhadap jenis beras yang ditanamnya.

Baca Juga: Balai Adat Meratus Tertua Ini Simpan Biji Beras Sebesar Kelapa

“Ada yang maasi harakatnya (mengambil manfaat irit dikonsumsi, red), ada yang karena kuat tumbuhnya, ada yang perlu banyak buahnya lebat dalam satu rumpun, ada yang karena mudah dipelihara tanamannya,” bebernya.

Meski kampung-kampung masyarakat di lereng pegunungan Meratus, jaraknya saling berjauhan. Penyebutan nama beras untuk wilayah Loksado masih sama saja antar kampung.

Baca Juga: Cara Adat Masyarakat Meratus Bakar Hutan Tak Pengaruhi Lingkungan?

Hal itu beralasan, dengan kuatnya jalinan kekerabatan, antar masyarakat di Meratus. “Sebab saat melakukan aruh adat, yang mengumpulkan kerabat di berbagai kampung, di situlah kesempatan saling meminta bibit, sambil bertanya namanya,” terangnya.

Menurutnya, beras Buyung adalah favorit warga di Loksado, dan Roby juga tak menampik itu.

“Kalau yang paling legendaris, ya buyung. kadada pamatinya (tidak ada gantinya, red). Bersaing dengan carnik dengan kehalusan rasanya,” ujarnya, yang mengaku pernah meluangkan waktu, untuk hunting macam-macam beras gunung di Loksado.

Baca Juga: Mengintip Aruh Adat Meratus, Pemujaan Roh dan Dewa (tamat)

Tetapi ungkapnya, yang beraroma paling wangi adalah beras Jurai, aroma wanginya bisa bertahan hingga setahun lebih pasca dipanen.

“Saat enak-enak tidur, bisa terbangun setelah mancium aromanya, saking wanginya,” ujarnya ber-hiperbola.

Roby mengaku pernah mengembara sendirian, mencari pengetahuan mengenai beras gunung sekitar 2018 lalu. Sambil bersilaturrahmi dengan warga, ia kelililng dusun Haratai, Bayumbung, Kamawakan, hingga Mawak, dengan bertanya-tanya ke warga sambil ingin membeli satu hingga dua liter.

“Bila tidak mau menjual, saya minta saja terpaksa menahan malu, demi sekedar ingin tahu,” ucapnya.

Sebab ujarnya jika mau mencicipi semua jenis beras harus turun keliling kampung-kampung, karena masyarakat tidak menjual beras, dengan alasan Pamali atau dianggap tidak baik dilakukan. (*)