Di Balik Festival Pesona Budaya Borneo

Oleh: Dian Puspita Sari*

Pagelaran Festival Pesona Budaya Borneo (FPBB) 2 dilaksanakan di Eks Kantor Gubernur Kalsel yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman, Antasan Besar, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Sabtu (11/08) pagi.

Kegiatan ini berlangsung cukup meriah. Para tamu undangan mengenakan sasirangan dan juga batik khas suku dayak. Selain itu mereka juga ada yang mengenakan pakaian suku Dayak.

Festival yang mengusung tema “Dengan Budaya dan Pariwisata, Kita Bergerak untuk Membangun Kalimantan Agar Lebih Sejahtera” ini berlangsung selama lima hari, yaitu sejak 11 hingga 15 Agustus 2018 lalu.

Diketahui bahwa saat itu panitia juga mengundang sembilan Duta Besar negara sahabat. Di antaranya dari Venezuela, Panama, Kazakstan, Peru, Croasia, Belarusia, Yaman, Pakistan, dan Meksiko. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor.

Kegiatan yang termasuk dalam rangka Hari Jadi ke-68 Provinsi Kalimantan Selatan, 14 Agustus 2018, ini dibuka terlebih dahulu dengan upacara adat suku Dayak. Dihadiri oleh Perwakilan Duta Besar negara sahabat, Pejabat Kementrian Pariswisata RI, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Bupati se Kalimantan, deputi majelis adat dayak, dan juga tamu undangan lainnya.(banjarmasinpost.co.id)

Tidak ketinggalan pula, hadir pada kegiatan tersebut para Pelaku Usaha Daerah hingga Pelaku Usaha Nasional. Adapun program acara yang diadakan diantaranya adalah Pameran Potensi Pariwisata Daerah, Pagelaran Seni dan Budaya Borneo, Pameran Produk Unggulan daerah dan Karya Inovatif Pemerintah Daerah, serta Borneo Art Carnaval 2018.(jadwalevent.web.id)

Mewaspadai Agenda Dibalik Festival

Ada udang dibalik batu. Ya, begitulah sebutan untuk sesuatu yang dilakukan dengan pamrih. Begitu pula dalam penyelenggaraan Festival Pesona Budaya Borneo ini. Masyarakat Banua hendaknya mewaspadai ada agenda terselubung dibaliknya. Agenda yang menjadi motif utama penyelenggaraan kegiatan tersebut.

Upaya deradikalisasi lewat mengusung kearifan budaya lokal pun disebut-sebut menjadi salah satu agenda dibalik Festival Borneo. Sebuah buku bertajuk Deradikalisasi Nusantara hadir di awal Januari 2016 lalu. Dari judulnya menyiratkan suatu gagasan besar pencegahan terorisme lewat kearifan budaya Nusantara.(kompas.com)

Gagasan ini pun sepaket dengan “Islam Nusantara” yang saat ini terus didengungkan dalam rangka mencegah radikalisme. Program deradikalisasi yang diterapkan melalui upaya penguatan identitas kebudayaan Indonesia.

Dengan mengangkat kearifan budaya lokal diharapkan dapat mengurangi pengaruh indoktrinasi keagamaan. Terutama mengurangi suntikan ideologi transnasional. Islam kaffah pun dinilai berseberangan dengan budaya lokal. Hal ini menyebabkan munculnya istilah “Islam Nusantara” yang dipandang lebih relevan dengan Indonesia.

Walaupun pada fakta sejarah tidak demikian. Karena sebenarnya Islam-lah yang menjadi sejarah dan budaya negeri ini saat para leluhur mendirikannya. Islam yang pernah diterapkan oleh mereka atas tanah tercinta ini.

Atas Nama Investasi

Festival Pesona Budaya Borneo konon diadakan untuk mengenalkan budaya Banjar ke kancah nasional bahkan internasional. Mengenalkan keunggulan ciri khas dan kearifan budaya Banjar dari Kalimantan Selatan guna membesarkan nama Indonesia.

Suku Banjar khususnya suku Dayak adalah pemegang aset sumber daya alam yang sangat besar di Kalsel. Inilah sebenarnya yang menjadi target utama dari Festival ini. Menjadikan daerah Kalimantan Selatan sebagai objek wisata yang akan mendatangkan devisa negara. Juga diharapkan dari sini nantinya bisa menarik investor dalam maupun luar negeri.

Semua itu dilakukan tanpa mempertimbangan aspek moral. Karena sejatinya saat para wisatawan asing dengan bebas keluar masuk, akan berimbas pula pada bebasnya budaya asing itu sendiri masuk ke daerah ini. Hal itu cepat atau lambat akan membawa perubahan pola pikir dan pola sikap masyarakat Banjar yang religius.

Lagi-lagi, inilah upaya tidak langsung yang semakin menjauhkan masyarakat dari Islam. Dalam hal ini Islam yang bukan hanya sekedar ibadah ritual tapi sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan. Selain itu, ada upaya kapitalisasi di bidang budaya dan komersialisasi sektor pariwisata di masing-masing daerah yang dianggap menguntungkan. Padahal semakin mengerdilkan peran negara dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya.

Penutup

Menelusuri sejarah Banjar akan didapati bahwasanya dari awal berdiri hingga keruntuhan kesultanan Banjar, Islam telah menjadi pondasi di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan, sejarah Banjar adalah sejarah Islam. Budaya Banjar adalah budaya Islam.

Karena itulah, pengaruh dan paham “Islam Nusantara” yang lebih kepada paham moderat dan liberal sangat sulit masuk ke Kalimantan Selatan. Ajaran ini mengeliminasi nilai-nilai Islam sebagai pengatur kehidupan. Tentu saja ini tidak sesuai dengan sejarah asli ‘urang Banjar’.

Mengangkat budaya Kalsel sebagai bagian kearifan lokal pulau Kalimantan (Borneo) merupakan upaya menyuarakan toleransi dan membungkam Islam sebagai aturan. Ciri khas masyarakat Banjar yang religius akan dikalahkan dengan indahnya harmoni budaya Banjar yang sejatinya tak berkesesuaian dengan syariat Islam.

Sekaligus pula semakin mengokohkan neokapitalisme dan neoliberalisme di wilayah Indonesia. Atas nama investasi, kemudian mengalihkan pandangan rakyat bahwa sumber daya alam Banua sudah semakin berkurang karena dikuasai asing, sehingga sektor pariwisatalah sebagai andalan pemasukan daerah.

Inilah bukti nyata kegagalan negara dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya. Hanya Islam beserta seperangkat aturan-Nya lah yang sejatinya bisa benar-benar menyejahterakan manusia dan alam seluruhnya. Karena sesungguhnya berharap sejahtera dengan menerapkan sistem selain yang berasal dari-Nya, sama seperti berharap salju turun di langit Indonesia. Mustahil. Wallahu’alam.

*) Pembina Komunitas Remaja Shalihah Kab. Banjar, Warga Pekauman Ulu Martapura