Tak Berkategori  

Curhatan Petugas Retribusi Menghadapi Wisatawan “Nakal”

LOKSADO, KORANBANJAR.NET – Petugas pemungut retribusi wisata di Loksado harus hafal mana masyarakat Loksado. Begitulah pedoman utama para petugas pemungut retrebusi dalam menjalankan tugasnya.

Bagaimana tidak, kawasan Kecamatan Loksado yang menjadi destinasi wisatawan lokal, nasional bahkan mancanegara tersebut dihuni sekitar lebih dari enam ribu pendukuk.

Posisi pos pungutan retribusi berada di jalanan utama atau Jalan Kandangan-Loksado Dusun Muara Hatib Desa Hulu Banyu, yang pastinya akan dilalui masyarakat sekitar untuk beraktifitas.

Jika petugas tidak kenal mana wisatwan dan mana warga sekitar, akibatnya berdampak pada pemasukan retrebusi yang tidak maksimal. Misal, dikira warga padahal nyata wisatawan, atau wisatawan “nakal” yang mengaku sebagai warga agar terhindar dari retrebusi yang harganya tidaklha mahal.

Hal lain yang mungkin terjadi, petugas salah sasaran meminta retrebusi yang nyatanya bukan lah wisatwan yang berkung melainkan warga setempat. Sepintas memang spele, tinggal minta minta maaf selesai. Namun nyatanya tidak lah semudah itu. Hal tersebut bisa menimimbulkan gesekan akibat kesalahpahaman antara warga dan petugas.

Setiap weekend dimana biasanya banyak wisatawan berkunjung, adalah Roni dan Jarmandi yang kerap berjaga di pos retrebusi.

Mereka mengaku secara bergantian berjaga di pos, tetapi jika ada kemungkinan akan banyak pengunjung maka bisa saling membantu ataupun bisa dibantu masyarakat sekitar.

Lebih dari satu ikut berada di pos retrebusi, terlihat relatif banyak masyarakat yang lalu Lalang. Jika ada yang dihadang mereka untuk membayar retribusi artinya itu adalah wisatawan.

“Yang dipungut retribusi adalah wisatawan dan tujuannya memang berwisata, sedangkan masyarakat yang sekedar lewat mau bekerja tidak dipungut,” kata Roni kepada koranbanjar.net, Minggu (16/6/2019).

Jarmandi menuturkan, modal utamanya ialah harus hafal semua warga Loksado. Jika meragukan, dia bisa melihat dari ciri-ciri tertentu yang menandakan bukan bertujuan wisata.

Selain mereka mengenali wajah warga, dia juga mengidentifikasi dari kendaraan yang dipakai apakah dikenali sebagai bukan wisatawan. “Juga jika mereka membawa parang pasti warga sekitar yang mau bekerja di hutan,” tutur pria asal Desa Loksado itu.

Kendalanya adalah, banyaknya wisatawan yang ikutan tidak mau bayar retribusi, sebab wisatawan kadang-kadang melihat warga sekitar yang dilewatkan tidak bayar jadi wisatawan tersebut mengikuti langsung dibelakangnya.

Roni mencontohkan pada lebaran lalu, jumlah pengunjung tercatat dari karcis sekitar 4000-an, tetapi sebenarnya lebih dari itu. “Itu pun saat lebaran lalu susahnya minta ampun kita memilah wisatawan dan penduduk sekitar, karena saking banyaknya yang lewat,” ujar pria 40 tahun asli Muara Hatib itu.

Ia menyarankan, seharusnya masyarakat mengerti jika sudah mendekati pos retribusi untuk berkendara pelan dan mendahulukan jika ada wisatawan di belakang. “Agar wisatawan itu tidak merasa dibedakan dan tidak mengikuti di belakangnya ikut tidak bayar retribusi,” sarannya.

Roni mengatakan, seratus meter dari pos sudah dipasang rambu-rambu untuk memelankan laju kendaraan. “Banyak sekali yang sudah dicoba hentikan untuk dipungut retribusi mengaku sebagai warga sekitar, padahal mereka sudah tahu ia adalah pengunjung. Tetapi yang penting kami sudah berusaha biarkan saja kami tidak bisa mengejar,” timpal Jarmandi lagi.

Tak berselang lama berbincang-bincang dengan penjaga pos, ada dua orang pengendara memakai helm dan tas yang dihentikan lalu mengaku bukan untuk berwisata, melainkan berkunjung ke rumah keluarga di Desa Loksado maka terpaksa tidak jadi dipungut biaya.

“Padahal mereka itu kemungkinan memang berwisata juga intinya,” ujar Jarmandi. Ia mengimbau wisatawan juga sedia menurunkan kecepatan dan berhenti dan membayar pos retribusi yang harganya sangat murah Rp.5000 per orang.

Jarmandi mengatakan retribusi setiap hari dipungut sejak pukul 07.00 sampai 17.00 wita, bahkan jika masih banyak yang datang akan tetap ditunggu. (yat/dra)