Covid-19 Melanda Pulau Terluar dan Pedalaman: Mentawai Terbilang Gawat

Wabah covid-19 tak hanya menyerang warga di wilayah perkotaan, tapi juga menerpa daerah yang jauh dari mobilitas penduduk seperti perdesaan maupun pulau-pulau kecil terluar Indonesia.

KORANBANJAR – Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, misalnya, belasan hingga puluhan kasus positif kini muncul setiap hari. Situasi ini dianggap gawat karena fasilitas kesehatan di wilayah paling ujung barat Indonesia ini sangat minim.

Sementara itu kesunyian sempat menyelimuti sebuah desa di Jawa Tengah saat kasus Covid-19 melonjak drastis Juli lalu. Komunikasi antarwarga disebut hanya berlangsung di grup aplikasi pesan singkat.

Adakah cara mencegah ledakan kasus Covid-19 di perdesaan dan pulau-pulau kecil?

Jumlah kasus positif di Kepulauan Mentawai belum menunjukkan tanda-tanda bakal turun, kata Kepala Dinas Kesehatan di kabupaten itu, Lahmudin Siregar.

Sepanjang Juli lalu terdapat 416 kasus positif di Mentawai. Itu adalah angka tertinggi selama tahun ini. Sebelumnya, kasus terbanyak tercatat pada Januari lalu, yaitu 166.

Adapun dalam sembilan hari pertama Agustus, jumlah kasus positif yang terdata sudah mencapai 213. Lahmudin berkata, sejumlah kasus positif itu tercatat dari daerah pedalaman.

“Yang ditemukan pun ada di daerah yang jarang dikunjungi atau daerah pedalaman seperti Siberut Barat, daerah yang notabene sulit diakses,” ujarnya.

“Jumlah kasus ini sebenarnya belum menunjukkan kondisi keseluruhan karena ini hanya berdasarkan orang-orang yang diperiksa.

“Yang membuat kami waswas adalah kondisi fasilitas pelayanan kesehatan kami, terutama jika ada warga yang mengalami kondisi berat,” kata Lahmudin.

Kepulauan Mentawai adalah kabupaten di Sumatera Barat. Dari Padang, ibu kota provinsi itu, perjalanan ke Mentawai berjarak sekitar 10 jam jika ditempuh dengan kapal feri.

Opsi lainnya adalah perjalanan dengan kapal cepat yang berdurasi sekitar tiga jam.

Menurut Lahmudin, jumlah kasus positif di Mentawai mungkin terlihat kecil jika dibandingkan daerah lain. Tapi dengan status sebagai kawasan terkecil, terdepan, dan tertinggal, berapapun kasus Covid-19 yang muncul bisa berdampak buruk bagi Mentawai.

“Dibandingkan daerah lain, jika jumlah kasusnya sama, kondisi Mentawai lebih gawat karena jumlah petugas dan sarana kami,” katanya.

“Kami halau di Padang, jadi semua orang yang masuk Mentawai harus membawa bukti hasil swab negatif. Ini upaya pemerintah, selain mencegah penularan lokal.

“Kami sudah fokus tangani orang sakit, menemukan kasus positif, tapi agar masyarakat tidak tertular, semua orang harus sadar keluar pakai masker dan menghindari kerumunan,” ujar Lahmudin.

Masalahnya, masih ada warga Mentawai yang menganggap pandemi Covid-19 sebagai rekaan. Salah satu akibatnya, kata Lahmudin, upaya menelusuri kontak erat terhambat karena banyak warga menolak dimintai keterangan.

“Tidak semua orang menganggap Covid ini masalah, jadi dia tidak merasa berkepentingan karena tidak mengalami gejala,” ucapnya.

“Orang-orang juga takut urusan pekerjaannya, usahanya, urusan keluarganya dihambat. Ada juga yang menganggap ini hoaks dan konspirasi.

“Kadang petugas kami tidak diterima saat tracing. Agar penanganannya maksimal, butuh bantuan banyak orang,” kata Lahmudin.

Haris adalah salah satu warga Mentawai yang tak percaya bahwa pandemi Covid-19 benar-benar terjadi. Alasan Haris beragam walau tidak ada satupun bukti yang mendukung argumentasinya.

“Sebenarnya pandemi ini virusnya seperti apa dan bisa bertahan di suhu berapa. Mentawai ini panas, jadi virus itu tidak bisa bertahan di sini,” ujarnya.

“Saya tidak percaya Covid ada di Mentawai,” kata dia.

Perkataan Haris tadi bertolak belakang dengan kesaksian Supri Linda, warga Mentawai lainnya.

Sejumlah teman dan tetangga Supri terpapar Covid-19. Beberapa di antara mereka dijemput dan diantar Dinas Kesehatan ke pusat isolasi milik pemerintah lokal.

Supri melihat hingga saat ini sebagian penduduk Mentawai abai terhadap protokol kesehatan. Aktivitas di ruang publik pun, kata dia, belum benar-benar berkurang walau jumlah kasus positif sedang tinggi.

“Di Mentawai aktivitasnya berjalan biasa saja. Banyak yang tidak patuh prokes. Kalau ada razia, baru pakai masker,” ujarnya.

Neldinus Saogo, warga Mentawai di Kecamatan Sikakap, menyebut orang-orang di sekitarnya mengira Covid-19 adalah penyakit yang biasanya menyerang tulang.

Namun sekarang dia mengaku cemas tertular penyakit ini.

“Sudah ada dua yang meninggal di sini. Katanya orang Mentawai kuat, tapi ternyata ada yang kena juga,” tuturnya.

Desa menjadi lengang

Kasus positif Covid-19 sudah tercatat hampir seluruh wilayah Indonesia. Juli lalu, pandemi membuat Desa Brangkal di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, lengang. Seperti di daerah lainnya, kasus positif di Brangkal melonjak bulan lalu.

“Banyak yang tes swab mandiri, akhirnya kami tahu ternyata kasus positif di Brangkal bulan lalu naik drastis,” kata Sumarjo, Kepala Urusan Perencanaan Desa Brangkal.

Brangkal berjarak sekitar 45 menit dari pusat pemerintahan Klaten. Kabupaten ini berada di antara Yogyakarta dan Solo. Perjalanan ke dua kota besar itu dapat ditempuh selama sekitar satu jam.

Sumarno, seorang ketua rukun tetangga di Brangkal, menyebut sembilan tetangganya sempat terpapar Covid-19. Salah satu dari mereka akhirnya meninggal.

“Terlena, awalnya sakit di bagian kaki, sering terapi ke rumah sakit. Saya anjurkan dia tes swab, tapi ternyata tidak dilakukan sampai meninggal,” kata Sumarno.

“Setelah dia meninggal, dokter datang untuk swab, ternyata positif,” ucapnya.

Dan akibat rentetan kasus Covid-19 itu, permukiman RT tersebut lengang. Pur, seorang warga di sana, bercerita orang-orang sampai tak berani keluar rumah karena cemas tertular.

“Semua memilih tetap di rumah. Jalanan sepi. Kalau tidak benar-benar perlu, semua orang di rumah,” ujarnya.

“Anak-anak juga tidak boleh main keluar rumah, tidak dibolehkan orangtua. Banyak rumah pintunya ditutup, pada takut,” kata Pur.

Menurut Pur, situasi itu mengubah pola interaksi antarwarga di kampungnya. Mereka jarang bertemu dan bertukar kabar secara tatap muka. Kondisi itu tak pernah terjadi sebelumnya.

“Di sini kan ada grup Whatsapp, jadi beritanya disebar di situ. Ada yang meninggal, tidak ada yang melayat karena nggak ada yang berani keluar rumah”

“Sudah banyak yang meninggal, tapi ya tidak ada yang melayat. Yang mengubur petugas dari Klaten. Jenazahnya dari rumah sakit langsung ke kuburan, nggak boleh dibawa ke rumah,” kata Pur.

Juli lalu Klaten dinyatakan sebagai zona merah Covid-19. Namun belakangan Bupati Klaten, Sri Mulyani, mengeluarkan klaim bahwa kasus positif dan kematian di wilayahnya berangsur menurun.

Sebuah riset ilmiah yang diterbitkan April lalu di Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora menemukan tren masyarakat perdesaan yang cenderung mengabaikan protokol kesehatan yang paling dasar, yakni pemakaian masker.

Penelitian itu dikerjakan Chusna Apriyanti dan Riza Dwi Tyas Widoyoko dari Sekolah Tinggi Kepeguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Pacitan, Jawa Timur. Riset itu melibatkan 510 responden di sejumlah desa di Pacitan.

Dari survei itu, mereka menemukan bahwa hanya 13,7% responden yang konsisten memakai masker. Adapun hampir setengah dari responden mereka masih beraktivitas dan berkumpul dengan orang lain di luar rumah.

Mereka menyimpulkan, masyarakat perdesaan belum memahami secara utuh risiko yang dapat dimunculkan Covid-19. Tren itu muncul, kata mereka, karena pemerintah tidak membuat regulasi yang mengikat.

Kondisi itu tidak hanya terjadi di Pacitan, tapi juga di sebagian besar masyarkat dengan corak perdesaan, kata Guru Besar Ilmu Sosiologi UGM, Sunyoto Usman.

Solusinya, menurut Sunyoto, pemerintah harus meninggalkan penanganan pandemi yang bersifat administratif dan beralih ke pendekatan yang bernuansa lokal.

“Perspektif penanganannya harus berbasis ekologi. Untuk kawasan pantai dengan komunitas nelayan akan berbeda dengan pendekatan terhadap warga di perkebunan atau yang hidup di sektor pertanian,” ujarnya.

“Gali kearifan atau lembaga lokal yang bisa menjembatani ini, untuk meningkatkan pemahaman warga. Mereka punya pengalaman solidaritas yang kuat,” kata Sunyoto.

Dan yang tidak kalah penting, Sunyoto bilang bahwa pemerintah harus bergerak mendata kasus Covid-19 ke permukiman warga di desa.

“Secara teknis bisa dikembangkan mobile facility, jadi layanan medisnya proaktif, bentuknya seperti puskesmas keliling. Kalau warga diminta melaporkan sendiri jika terpapar Covid, susah,” kata dia. (suara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *