Religi  

Budaya MONEY POLITIC Kapan Berakhir

HSS, KORANBANJAR.NET – Money politic atau politik uang tampaknya sudah mengakar di negeri ini. Mendekati pemilu serentak 2019 ini, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) politik uang bahkan melibatkan oknum pemerintah desanya.

Hal ini terungkap sesuai dengan pengakuan seorang sekdes pada salah satu desa di Kecamatan Loksado, Kabupaten HSS, Yadi (bukan nama sebenarnya).

Entah menyadari atau tidak sikap netralitasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN), yang jelas pria 30 tahun itu mengaku kepada koranbanjar.net sudah biasa terlibat dalam politik uang menjelang pemungutan suara. Bahkan mendekati pemilu serentak tahun ini, dirinya sedang mengumpulkan suara dari warga untuk salah satu oknum caleg.

“Orangnya (caleg) meminta bantuan saya untuk mengumpulkan warga. Kalau sudah terkumpul, dia (caleg) datang sendiri menemui warga untuk menyampaikan visi dan misinya,” akunya kepada koranbanjar.net, Minggu (7/4/2019).

Yadi menceritakan, setelah menyampaikan visi dan misinya kepada sejumlah warga, oknum caleg yang bersangkutan memberikan uang kepada masing-masing warga dengan alasan untuk mengganti ongkos warga yang telah meluangkan waktu mendengarkan penyampaian visi dan misinya.

Meski sudah membantu seorang caleg dalam mengumpulkan suara, Yadi mengakui masih ada saja tiga sampai empat orang oknum caleg yang menemuinya untuk meminta bantuan mengumpulkan suara dari warga.

Bahkan dia pernah ditawari uang puluhan juta rupiah dari oknum caleg untuk membantu mengumpulkan suara.

“Tapi saya tolak dengan alasan hanya bisa menerima satu caleg saja yang sebelumnya lebih dulu meminta saya. Saya juga takut kalau suara yang saya kumpulkan tidak sesuai perolehan suara yang diharapkan,” katanya.

Yadi berpendapat politik uang tidak bisa diatasi dengan mudah karena bagi banyak warga yang berpenghasilan rendah tidak akan mau meninggalkan pekerjaan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pemungutan suara jika tidak diganti dengan imbalan.

“Bagi yang bekerja di lembaga kan hari libur itu, tetapi bagi mereka yang bertani atau berdagang kan lumayan penghasilan sehari, jika ditinggalkan mau makan apa. Kecuali ada gantinya misalnya dengan sesuai absen kehadiran di TPS akan dapat uang atau makan,” tuturnya.

Oknum lainnya, Putra (bukan nama sebenarnya), warga Kecamatan Kandangan, mengaku hingga Rabu (10/4/2019) kemarin, dirinya sudah ditawari empat sampai lima orang oknum caleg untuk mengumpulkan suara di desanya dengan cara mendata nama-nama warga yang bersedia memilih caleg yang bersangkutan.

Ujung-ujungnya, warga yang bersedia memilih caleg yang bersangkutan akan diberi uang.

Akan tetapi dirinya mengaku hanya mengiakan satu caleg saja. Mantan sekdes itu beralasan menolak yang lainnya karena sejumlah oknum caleg yang meminta bantuannya berasal dari kabupaten dan dapil yang sama.

“Memang jadi kebiasaan masyarakat Indonesia juga kan sulit menolak pemberian. Tetapi di sisi lain saya juga akan merasa tidak enak kepada yang memberi uang jika akhirnya nilai uangnya tak sepadan dengan perolehan suara yang diperoleh. Itulah realita kita,” tuturnya.

Pria 31 tahun itu mengisahkan, praktik politik uang yang sedang dia jalani saat ini dilakukan melalui sejumlah perantara orang lain. Termasuk dalam penyaluran uang yang akan dilakukan secara berantai. Artinya, meskipun Putra mengetahui oknum caleg yang dia bantu, tetapi dia tidak mengenali oknum caleg tersebut.

Catatan koranbanjar.net, dalam bekerja, para calo serangan fajar seperti Yadi dan Putra tidak hanya meminta data nama warga, namun mereka juga meminta fotocopy KTP masing-masing warga dengan berbagai alasan dan tujuan.

Begitulah, politik uang tampak selalu mempunyai cara tersendiri agar terhindar dari pengawasan penindak hukum di negeri ini.

Padahal dalam pasal 73 ayat 3 UU Nomor 3 Tahun 1999 jelas dinyatakan barang siapa yang melakukan pemberian atau menyuap seseorang dalam penyelenggaraan pemilu dapat dipidana dengan hukuman penjara masksimal tiga tahun. (yat/dny)