Tak Berkategori  

Bertambahnya Umur = Langkah Menuju Kematian

KEMATIAN itu bagaikan sebuah dinding kokoh. Hari demi hari, tiap makhuk yang bernyawa akan mendatangi dinding itu. Semua orang pasti tiba di depan dinding itu dan mengakhiri perjalanan hidup.

Perjalanan hidup seseorang diawali dengan pertemuan kasih sayang sepasang manusia yang “berbuah” keturunan. Kasih sayang tumbuh bukanlah sebuah kebetulan, namun terbit atas dasar Maha Kasih Sayang Allah Yang Maha Pemurah.

Dalam wujud seorang makhluk “terkandung” kasih sayang yang tak berbentuk, tetapi bisa dirasakan siapa saja. Kasih sayang Allah menyatu dalam kasih sayang seorang ibu yang tak pernah menyisakan kasih sayang untuk dirinya, melainkan dipersembahkan hanya untuk anaknya. Bahkan untuk menghadirkan sang anak ke dunia, seorang ibu rela menghadapi kematian bagaikan di kelopak mata.

Lantas, adakah kasih sayang Allah terpisah dari cinta seorang ibu kepada anaknya? Jawabannya tentu tidak! Seorang anak, dari keturunan siapa pun, dia hanyalah seorang bayi telanjang tanpa memiliki apa-apa, bahkan seutas benang pun tak punya.

Siapa sangka, sang bayi tumbuh besar, dewasa hingga menjadi seseorang yang terhormat. Menikmati hidup yang enak, tidur di kasur yang empuk, bahkan mungkin bergelimang kemewahan.

Seorang ibu yang mengandung akan merasa kehausan manakala janinnya butuh minum, merasa lapar tatkala janinnya butuh makanan.

Tidak setetes keringat pun dari seorang ibu terlewatkan, melainkan hanya untuk seorang anak. Kehebatan dan kemasyhuran seseorang bukan terletak pada banyaknya orang yang tunduk dan patuh kepada dirinya, melainkan pada taat dan patuhnya seseorang kepada orangtua, setelah Allah dan Rasul.

Semua orang mampu berbicara, “Syurga di Bawah Telapak Kaki Ibu”. Betapa tingginya derajat seorang ibu, sehingga Rasulullah Saw mengumpamakan betapa rendahnya nilai sebuah syurga dibanding kepatuhan kepada seorang ibu hingga bagaikan di bawah telapak kaki. Gemerlap dunia dibanding syurga hanya bagai setetes air di tengah lautan. Sementara syurga berada “di bawah telapak kaki ibu.”

Lalu, bagaimana kemewahan, kehormatan atau semacamnya mampu memalingkan seseorang terhadap keagungan seorang ibu? Bagaimana seseorang meminta ibunya sebagai penjaga balita di rumahnya yang mewah, menyediakan makan malam untuk sang istri, tidur di kasur empuk, sedangkan sang ibu tidur di kasur yang tipis, duduk di atas sofa yang megah, sementara sang ibu duduk beralaskan tikar atau bepergian dengan mobil mewah, sedangkan sang ibunya pergi harus berjalan kaki.

Usia ditandai dengan sebuah kelahiran, sedangkan langkah menuju kematian ditandai dengan bertambahnya usia.

Sukses bukan ditandai dengan banyaknya harta yang diperoleh, kehormatan yang dicapai atau kedudukan yang diraih. Sukses itu memuliakan dan membahagiakan makhluk yang menjadi perantara diri kita sehingga hadir di dunia, meski harus menahan lapar dan memberi kenyang kepada seorang ibu.(*)