Berbuat Mesum, Dijatuhi Hukuman Cambuk hingga Dimandikan Air Comberan

ACEH – Lima orang yang dinilai melakukan perbuatan mesum dan melanggar hukum Islam di Aceh, divonis hukum cambuk awal pekan lalu. Sanksi sosial dengan diarak keliling desa dan dimandikan air comberan, juga dirasakan pelaku yang telah melakukan pelanggaran yang serupa.

Sementara Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah yang terlibat kasus korupsi, ditetapkan menjadi tersangka menggunakan hukum positif Indonesia. Mengapa ada perbedaan penggunaan hukum untuk pelanggaran yang sama-sama terjadi di Serambi Makkah?

“Nur Fadilah binta Basirun telah melakukan jamilah ihtilat, melanggar pasal 25 Qanun Aceh No.6/2014 dengan hukuman cambuk di depan umum dengan 23 kali cambuk. Berdasarkan surat hasil pemeriksaan kesehatan, terpidana dinyatakan sehat. Algojo siap? Dimulai dari 1, 2, 3 – dst sampai 23. Selesai.”

Nur Fadillah, staf salah satu hotel di Banda Aceh, tidak kuasa menahan tangis ketika menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Baitul Musyahadah, Banda Aceh, 29 Oktober lalu. Reporter Radio Antero, afiliasi VOA di Banda Aceh, melaporkan Nur Fadillah dan manajer hotel Firman Syahputra divonis bersalah oleh Mahkamah Syariah Banda Aceh karena melakukan perbuatan ikhtilat atau bercumbu.

Keduanya digerebek warga Desa Ateuk Munjeng pada 13 September lalu karena diduga melakukan perbuatan mesum di kamar hotel tempat keduanya bekerja. Mereka sempat diarak keliling musala dan dimandikan air comberan, sebelum diserahkan kepada polisi syariah.

Dalam sidang, yang dilakukan secara terpisah, Nur Fadilah divonis 24 hukuman cambuk, sementara Firman Syahputra divonis 30 hukuman cambuk; tetapi ketika hukuman dilaksanakan, masing-masing dikurangi dua cambukan karena sudah menjalani hukuman penjara selama dua bulan.

Sanksi sosial dengan diarak keliling desa dan dimandikan air comberan, hingga dijatuhi hukuman cambuk juga dialami Sinta (bukan nama sebenarnya, red.) beberapa waktu lalu. Ia juga sempat dimintai uang jika tidak ingin tuduhan terhadapnya diteruskan ke Mahkamah Syariah.

“Pertama dari rumah kami ditangkap dibawa ke meunasah, disiram air comberan sama warga. Lalu dijemput Polsek Lambaro, baru dilimpahkan ke WA (wilayatul hisbah atau polisi syariah, red). Waktu warga sempat ajak damai dengan meminta uang satu juta dan dua ekor kambing, kami tidak setuju karena merasa tidak bersalah, jadi akhirnya kami dilimpahkan di WH. Di sana kami ditahan selama 15 hari,” tuturnya.

Dengan bantuan beberapa pengacara, Sinta berupaya mencari keadilan di Mahkamah Syariah, tetapi tidak membuahkan hasil. Hakim tetap menyatakan bahwa ia bersalah dan menjatuhkan vonis tujuh kali cambuk.

Hakim Tinggi Mahkamah Syariah Aceh Zulkifli Yus mengatakan hakim mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dan surat dakwaan jaksa.

“Ancaman hukuman itu berdasarkan surat dakwaan jaksa. Pertama jaksa membuat dakwaan dan pada akhir pemeriksaan di tingkat pertama, ia mengajukan tuntutan, misalnya terhadap orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak adalah tazir 90 kali dalam Qanun. Tetapi bisa jadi dituntut oleh jaksa dengan 80 kali cambuk, atau 60 atau 45. Hakim melihat berdasarkan fakta yang ada di persidangan, dan berdasarkan berat ringan perbuatan yang dilakukan. Putusan nanti tergantung penilaian hakim, biasanya dijatuhi hukuman cambuk karena Qanun mengamanatkan hukuman cambuk,” ujar Zulkifli.(em/voaindonesia.com/sir)