Apakah Perang Tagar Perlu Diberi “Pagar”?

INDONESIA – Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, menguasai opini masyarakat di dunia maya kini tampaknya menjadi persoalan penting. Tanda ‘like’ atau ‘share’ di Facebook dan Twitter misalnya, dinilai sebagai indikator dukungan pada suatu pernyataan atau cuitan, atau pada popularitas sosok yang menjadi obyek. Apalagi jika sampai muncul tanda pagar atau hashtags, disebarluaskan dan menjadi ‘trending.’ Ini terjadi tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dunia; dan banyak orang, terutama pengambil kebijakan dan pemimpin politik, memahami hal ini.
Tagar Jadi Cara Sosialisasikan Isu

Tagar awalnya digunakan di media sosial untuk memfasilitasi dan memudahkan pencarian dengan menggunakan kata kunci tertentu dan sekaligus mengelompokkan isu atau topik. Kini tagar kemudian meluas menjadi cara untuk mensosialisasikan suatu isu, atau mempromosikan produk/jasa, dan terlibat aktif dengan pengguna sosial media tersebut.

#TrumpRussia, #MeToo, #BlackLivesMatter, #Brexit, #AsianGames2018 adalah beberapa tagar yang hingga kini kerap merajai Twitter. Khusus di Indonesia, yang sedang populer adalah tagar #2019GantiPresiden, #2019PrabowoPresiden, #JokowiLagi, #JokowiVSThanos.

Analis Khawatir Dampak Perang Tagar yang Berkelanjutan

Pakar komunikasi digital di Universitas Indonesia, Dr. Firman Kurniawan mengatakan dapat memahami semakin banyaknya tagar yang muncul saat ini karena “hal ini penting untuk memadatkan visi yang panjang menjadi sebuah pesan yang mudah dipahami dan jelas pencapaiannya.” Tagar dinilai dapat menjadi alat ukur untuk mengetahui keberhasilan strategi komunikasi menyampaikan pesan tertentu.

“Namun melihat perkembangan saat ini, Firman khawatir dampak yang ditimbulkan dari perang tagar berkelanjutan ini. Setiap aktivitas komunikasi menimbulkan ‘hierarchy of effect’ yaitu kognisi, afeksi, psikomotorik atau pembentukan sikap yang aktual. Sikap aktual ini menjadi ukuran berhasil tidaknya tindakan komunikasi,” ujar Firman.

Yang mengkhawatirkan menurut Firman adalah lewat mekanisme tagar ini, terjadi polarisasi pendapat yang dapat mengerucut menjadi suatu hal yang saling berhadapan dan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Firman mencontohkan bagaimana pertarungan sengit di antara dua calon presiden – Joko Widodo dan Prabowo Subianto – sempat mereda ketika berlangsung Asian Games 2018 lalu.

“Presiden Jokowi dan capres Prabowo berangkulan mesra lewat Hanifan (atlet pencak silat di Asian Games 2018.red). Secara semiotis ini menunjukkan tidak ada perpecahan dan permusuhan diantara keduanya. Publik untuk sejenak adem, damai. Tetapi bagi pihak tertentu – yang menjalankan misi pemenangan – keadaan ini menjadi tidak jelas. Keberpihakan menjadi sulit diukur secara murah dan sederhana. Walhasil, di tengah suasana yang mulai ‘adem’ ini dihidupkan kembali perang tagar,” ujar Firman.

Dan selang dua minggu setelah berakhirnya Asian Games 2018, perang opini lewat media sosial – termasuk perang tagar – kembali marak.

Sosial Media Kerap Dipenuhi Akun Cloning & Robotik dengan Informasi Hoaks

Belajar dari pemilu presiden Amerika tahun 2016 lalu, sosial media tidak saja menjadi platform untuk menyampaikan opini dan mendiskusikannya secara langsung dengan para ‘followers’ di dunia maya, tetapi juga menarget kelompok tertentu dengan mengatur pemasangan iklan atau informasi tertentu, baik informasi yang akurat maupun hoaks.

Facebook adalah salah satu format media yang menjadi sasaran pemasangan iklan dan informasi tertentu setelah data puluhan juta penggunanya digunakan oleh perusahaan konsultasi Cambridge Analytica tanpa izin. Insiden yang terungkap pada akhir tahun 2017 itu membuat hampir 42% orang dewasa yang menggunakan Facebook melaporkan telah “beristirahat” dari Facebook selama beberapa minggu. Data Pew Research terbaru itu juga menunjukkan bahwa separuh dari jumlah itu kini menyesuaikan pengaturan privasi mereka.

Dr. Firman Kurniawan yang juga menekuni komunikasi di dunia maya juga menemukan fenomena serupa di Indonesia.

“Dalam membangun sentimen publik, yang diharapkan akan terus membesar, tidak jarang digunakan akun cloning, akun robotik, dan akun ternakan. Seolah-olah ada orang dalam jumlah banyak yang mendukung. Sentimen – positif dan negatif – atas informasi yang benar atau tidak benar ini dapat meluas atau viral,” terangnya.

Perlukah Ada Aturan?

Lalu, apakah perlu ada aturan untuk mengatur penggunaan tagar yang membangun sentimen publik ini? Ketua KPU Arief Budiman mengatakan sejauh ini pihaknya baru menyampaikan imbauan.

“KPU dan Bawaslu ingin pemilu ini sejuk, aman dan damai. Jadi saya harap semua mematuhi koridor yang diatur dalam undang-undang, maupun peraturan KPU,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta awal Agustus lalu.

Sementara Ketua Bawaslu Abhan Misbah kepada VOA mengatakan sejauh ini apa yang disebut sebagai perang tagar masih wajar dan “belum dimasukkan dalam kategori kampanye” sehingga belum ada peraturan yang dilanggar. Kampanye pemilu menurut jadwal baru akan dilangsungkan pada 23 September 2018 hingga 13 April 2019.

Dr. Firman Kurniawan menilai aturan tetap perlu ada. “Ini bukan soal pemilu saja – dan KPU memiliki keterbatasan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemilu – tetapi juga di luar pemilu. Perang tagar dapat terjadi di luar urusan pemilu. Jadi seharusnya ada aturan yang dibuat oleh DPR, sehingga levelnya menjadi undang-undang, bukan sekedar peraturan,” tegasnya.(em/voaindonesia/ana/koranbanjar.net)