Alangkah Ademnya Jika Bendera Itu Diminta, Dilipat, Kemudian Disimpan dalam Kotak Emas seperti Merah Putih

Oleh Pimred KoranBanjar.net, Denny Setiawan

PEMBAKARAN bendera bertuliskan kalimah tauhid “Laailaha illallah, Muhammadur Rasulullah” di Garut telah mengundang kontroversi dari banyak kalangan.

Semua memiliki pendapat atau argumentasi masing-masing yang sudah tentu merasa paling benar. Saya hanya berandai-andai, semua rakyat Indonesia pasti pernah menyaksikan acara puncak peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI.

Poin penting dalam setiap puncak acara hari bersejarah itu adalah “memuliakan” pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih. Persiapan dilakukan berbulan-bulan, bahkan pembawa bendera Sang Saka diseleksi super ketat, dilatih dengan latihan dan pengawalan yang luar biasa. Untuk pembawa baki pun sudah tentu diseleksi harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Seluruh rakyat Indonesia, terutama para pelaku bersejarah sangat memahami, betapa sulitnya memproklamirkan Bendera Merah Putih hingga bisa berkibar di langit yang biru.

Saya kembali berandai, kalau bendera Merah Putih menjadi simbol kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, bahkan sangat terhormat, lalu berbicara simbol, bendera bertuliskan kalimah tauhid itu juga merupakan simbol bendera negara Saudi Arabia, meski warna bendera yang dibakar berbeda, yakni berlatarbelakang warna hitam.

Akan tetapi, seandainya rakyat Saudi Arabia menyimpulkan bahwa simbol bendera yang dibakar itu merupakan bentuk penghinaan terhadap bendera negara mereka, apakah salah? Atau di negeri lain, ada sebuah bendera merah putih yang dibakar pula, bagaimana dengan perasaan rakyat Indonesia?

Belum bicara, bahwa bendera bertuliskan kalimah tauhid itu merupakan simbol atau panji seluruh umat muslim di dunia. Tatkala pembakaran dilakukan dengan berbagai alasan di tengah khalayak ramai, kemudian banyak menimbulkan multipersepsi, lalu siapa yang salah dan siapa yang benar?

Terlepas bendera itu merupakan simbol atau identitas sebuah kelompok, simbol kebanggaan negara, simbol umat muslim seluruh dunia, pastinya kalimah tauhid tersebut bukan kalimah yang biasa. Kalimah yang memiliki makna dan tafsir yang tidak bisa diukur dengan akal. Bahkan berdasarkan keyakinan umat muslim di dunia yang berjenis makhluk manusia hingga makhluk lain yang tak bisa dilihat dengan kasat mata, kalimah tauhid bertuliskan “Laa..ilaha illallah, Muhammadar Rasulullah” telah tertulis di salah satu pintu syurga.

Bukan hanya itu, tatkala menjelang sakratul maut, seluruh umat muslim sudah pasti mengidam-idamkan agar bisa melapadzkan kalimah tauhid tersebut.

Ini artinya, mungkin bendera yang dimaksud hanyalah selembar kain berwarna hitam, tetapi kalimah tauhid yang tercantum dalam bendera itu bukanlah kalimah yang biasa, tetapi kalimah yang amat sangat dimuliakan kaum muslimin. Esensinya, bukan sekadar melihat fisik bendera yang dibakar itu, tetapi apakah pembakar bendera memahami kemuliaan dari makna kalimah tauhid itu?

Mungkin ada yang memahami, pembakaran bendera dimaksudkan untuk memuliakan kalimah tauhid yang tercantum agar tidak disembarangkan. Namun tidak sesederhana itu, semua dilakukan di tengah publik, disaksikan khalayak ramai. Bisakah pembakar itu membayangkan, seandainya mereka membakar bendera Sang Saka Merah Putih? Kira-kira apa yang terjadi?

Oleh sebab itu, penutup tulisan ini saya kembali berandai-andai, alangkah ademnya jika saat bendera itu dikibarkan, lalu diminta secara terhormat, kemudian dilipat dengan hati-hati, selanjutnya dimasukkan dalam sebuah kotak emas. Tindakan itu jauh lebih bijaksana dan terhormat, karena saya meyakini banyak umat muslim yang tersakiti atas insiden itu, terlepas kejadian itu mengandung unsur politis.

Saya pun jadi bertanya, mengapa kita sesama muslim selalu terbentur dengan persoalan-persoalan seperti ini? Pahamilah, ini bukanlah hanya sebuah persoalan pembakaran bendera, melainkan ada yang “tertawa” manakala sesama umat muslim harus terpecah belah lantaran sebuah bendera.(*)