Mungkin tidak banyak yang tahu, bahkan masyarakat Kota Martapura sekalipun. Kalau Kota Banjarmasin mempunyai tempat nongkrong yang viral disebut Siring Tendean, Kota Martapura juga memiliki tempat serupa, bahkan tidak kalah keren. Hanya saja, jarang terekspose oleh media. Seperti apa? Simak tulisan ini.
MARTAPURA, Denny Setiawan
Siring Air Santri berada di pinggiran Kota Martapura, tepatnya di Kelurahan Murung Kenanga, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar. Terletak di tepi Sungai Martapura, daerah padat permukiman warga. Tepatnya berada di belakang permukiman warga Tunggul Irang Seberang atau permukiman Murung Kenanga.
Siring ini dibangun sejauh 450 meter dengan konstruksi yang sangat rapi, pada bagian tepi siring dipagar dengan cat warna biru. Kawasan ini juga sudah dilengkapi dengan PJU (Penerangan Jalan Umum) yang seragam dan kursi-kursi untuk santai.
Menariknya, kawasan siring di Kota Martapura ini tadinya hanya sebuah kawasan kumuh. Kemudian ‘disulap’ menjadi kawasan santai untuk tempat nongkrong yang keren. Kawasan ini sekarang dinamai Kawasan Air Santri yang merupakan kependekan dari Aman Indah Ramah Santun dan Tertata Rapi.
Tiap sore menjelang senja, kawasan ini menjadi tempat utama bagi warga setempat untuk santai dan nongkrong. Angin yang sepoi-sepoi menambah suasana tempat ini sulit untuk ditinggalkan. Suasana religius juga sangat kental mewarnai kawasan Air Santri, selain dekat dengan Masjid Agung Al Karomah Martapura, tugu yang dibangun pada bagian tengah kawasan ini sarat dengan filosofi agama Islam. Tiap menjelang waktu sholat tiba, suara adzan dari arah Masjid Agung Al Karomah menghiasi kawasan ini.
Tepat di tengah kawasan Air Santri berdiri bangunan tugu bercorak warna kuning dan cokelat. Tugu ini dinamai Tugu Kawasan Air Santri, namun warga setempat menyebut Tuggu Arah Kiblat. Karena pada salah satu bangunan dibuat latar berornamen batik yang menghadap ke arah kiblat. Kemudian, di bagian atas terpasang ornamen berbentuk lafaz Allah dalam tulisan Arab.
“Tugu arah kiblat ini tidak sekadar dibangun menghadap kiblat, melainkan sudah diukur secara resmi oleh pihak Kementerian Agama, bahkan disertai sertifikat,” demikian ungkap salah satu penggagas Air Santri, Khairuddin yang diwawancarai koranbanjar.net, Selasa (02/10/2022) sore.
Terciptanya kawasan ini, dijelaskan Khairuddin, membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kawasan Air Santri dirancang sejak tahun 2011 melalui tim pembakal dan tim Survey Kampung Sendiri (SKS).
Asal pembangunan siring berasal dari perencanaan desa, kemudian berkembang dari perencanaan komponen masyarakat yang menjadi bahan rembuk dalam program perencenaan partisipatif.
Setelah melalui perencanaan yang matang, lantas diajukan ke Bank Dunia (World Bank) lewat program Kota Tanpa Kumuh. Sejak itulah, program bergulir hingga mendapat bantuan dari Bank Dunia. Meski bangunan yang sudah selesai ini baru memenuhi 25 persen dari seluruh rencana yang diajukan.
Adapun bangunan tugu yang berdiri di tengah kawasan telah dirancang dengan memiliki berbagai filosofi agama Islam. Antara lain, tugu berbentuk kapal dengan makna sebagaimana Kapal Nabi Nuh menyelamatkan umatnya. Kemudian bangunan disertai beberapa tiang pilar, ada yang 6 tiang mencerminkan rukun Iman, kemudian adapula 5 tiang yang bermakna rukun Islam, serta menara arah kiblat.
Sementara pikiran dasar kawasan ini dipusatkan pada wilayah Desa Tunggul Irang RT 3, karena di desa inilah Abah Guru Sekumpul, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani dilahirkan. Dan di wilayah ini pula telah bermakam 5 Wali Allah.
Dijelaskan Khairuddin pula, pembangunan kawasan Air Santri ini baru memenuhi 25 persen dari master plan yang diajukan ke Bank Dunia lewat Kementerian PUPR. Untuk pembangunan tahap ini telah menghabiskan dana sebesar Rp32, 4 miliar.
“Ini baru segmen D, belum segmen A,B dan C. Salah satu program berikutnya yang akan dibangun pada kawasan ini adalah gedung galeri Kitab Kuning (perpustakaan terbesar, mungkin di Asia). Kita akan melakukan penulisan ulang 2 kitab Serambi Makkah. Pertama, Kitab Shirotol Mustaqim karangan Syekh Nuruddin Araniri dari Aceh. Kitab kedua Sabilal Muhtadin yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datuk Kelampayan. Kitab Shirotol Mustaqim merupakan sarah dari Kitab Sabilal Muhtadin,” tutupnya. (*)