PELANGGARAN NIKAH USIA ANAK

Oleh : M. Fithri, S.Ag

Siang itu, melewati warung acil Inor. “Pak KUA, singgah, makanan nah,” amang Kuhir mangiau.

“Assalamu’alaikum, apa habar pian?”

“Wa’alaikum salam, baik haja”.

“Kabalujuran pian ada nah, umpat batakun, kaya apa itu kesahnya nang nikah bawah umur nang di Binuang? Rami banar urang mamander, habarnya dibatalakan?” amang Kuhir mambuka pander.

“Kalau kisahnya kan, dua kakanakan itu, tatamu di acara keramaian hiburan, bakenalan, bachat-chatan, sarantang saruntung, lalu badua-duan tarus, lalu nini nang maharagu cucu lakian itu marasa khawatir kalu malampaui batas, kada nyaman jadi pamanderan, daripada supan lalu dikawinakan, padahal umurnya hanyar 14 tahun, biniannya hanyar 15 tahun. Dibatalkan itu karena kada hanya melanggar hukum negara, tapi jua hukum Islam, sehingga difasakh, maksudnya adalah dipisahkan, dibatalkan, dan dikembalikan untuk dibina oleh walinya masing-masing”.

“Secara hukum negara, pelanggarannya adalah di bawah umur tadi, karena minimal perempuan menurut UU No 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 harus berumur minimal 16 tahun, laki-laki minimal berusia 19 tahun”.

“Ada sebetulnya, jalan yang legal, yaitu pasal 7 ayat 2 nya, isinya mengajukan ke pengadilan agama untuk meminta rekomendasi (keringanan) menikah untuk yang kada cukup umur di atas, tinggal lagi pengadilan agama mengabulkan atau menolak”.

“Disamping itu, pernikahan kakanakan di Binuang itu, tidak sampai ke KUA, karena  faktanya pernikahan itu dilakukan secara bawah tangan/syiri, oleh penghulu kada resmi, lawan sakalinya, secara syiri pun setelah diteliti kada sah jua, karena memakai wali hakim, padahal masih ada wali nasab. Batambah pulang wali hakim nangitu, wali illegal, wali hakim yang benar adalah yang ditunjuk oleh negara, dalam hal ini adalah Kepala Kementerian Agama setempat menunjuk Kepala KUA di wilayah itu sebagai wali hakim, penunjukan itupun cuma satu kali hanya untuk satu peristiwa saja”.

“Untuk wali nasab, sebelum sampai ke wali hakim, tertib walinya kan seperti ini; Wali Mujbir urutannya 1. Ayah, 2. Kakek, 3. Datuk, dstnya ke atas; Jalur se ayah se ibu (kandung) dan jalur se Ayah; 4. Saudara laki-laki (kandung), 5. Saudara Laki-laki (se ayah), 6. Ponakan Laki-laki (kandung), 7. Ponakan laki-laki (se ayah), 8. Saudara Ayah (paman kandung), 9. Saudara Ayah (paman se ayah), 10. Anak Laki-laki Paman (sepupu kandung), 11. Anak Laki-laki Paman (sepupu se ayah), 12. Cucu Paman (kandung), 13. Cucu Paman (se ayah), 14. Saudara Kakek (kandung), 15. Saudara Kakek (se ayah), 16. Anak Saudara kakek, 17. Anak Saudara Kakek (se ayah), 18. Saudara Datuk (kandung), 19. Saudara Datuk (se ayah), 20. Anak Datuk (kandung), 21. Anak Datuk (se ayah), urutan wali nikah ini, kada boleh dilompati, kecuali tidak ada, tetapi tetap harus berurutan”.

“Boleh berpindah kepada wali hakim, apabila : 1. Sudah tidak ada garis wali Nasab; 2. Walinya hilang (mafgud); 3. Walinya jauh (lebih dari 92,5 km); 4. Walinya tidak bisa dihubungi/dalam penjara/pengasingan, dll; 5. Walinya sedang sakit keras/Udzur; 6. Walinya sedang Haji/Umrah; 7. Walinya adhal/Enggan, berdasarkan putusan pengadilan Agama”.

“Kalau kaya itu, urang-urang nang terlibat itu bisa diperkarakan secara hukum lah?”

“Bisa, mulai urang tua-nya, wali hakimnya, penghulunya, sampai saksi-saksi, kena pasal jua …………… tapi kemudian kan, setelah heboh dan viral di dunia maya,  dimusyawarahkan di kantor kepolisian, dihadiri pihak-pihak nang terkait, kemudian keputusannya difasakh”.

“Bubuhan KUA pang tamasuk lah?”.

“Maksud pian, tamasuk apa?”.

“Tamasuk nang kawa dituntut dan terlibat?”.

“Kada termasuk dan kada terlibat, karena nikahnya di bawah tangan, dan waktu proses sebelum sampai pernikahan, tidak melibatkan KUA”.

“Tapi pa KUA lah, ada nang memander, jangan sarik lah, ini termasuk kelalaian KUA dan banyaknya nikah bawah umur karena KUA ‘turut serta’ mendukung bahkan melegalkan”.

“Itu kaya ini, kita bekerja berdasarkan aturan dan perundang-undangan, dasar kita adalah UU No.1 tahun 1974 dalam hal ini bila sesuai pasal 7 ayat 1, untuk diperbolehkan umur menikah, atau sesuai ayat 2 bila ada rekomendasi Pengadilan Agama, kita hanya melaksanakan, jadi kalau masalah umur ini yang dipermasalahkan, maka UUnya yang harus direvisi”.

“Memang, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 tahun 2016), dalam pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagai implementasi Konvensi Hak Anak, menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah sampai dengan usia 18 tahun”.

“Dan lagi, Pemerintah sebenarnya mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No.10 tahun 1992. Dimana disebutkan bahwa, pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan Keluarga Berencana. Yang mana menyebutkan bahwa, perkawinan diizinkan bila laki-laki berumur minimal 21 tahun dan perempuan minimal berumur 19 tahun. Sehingga perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan laki-laki kurang dari 21 tahun dan perempuan kurang dari 19 tahun”.

“Nah, antara ketiga Undang-undang tersebut terlihat ada “ketidaksinkronan” yang dimaksud dengan anak dan pernikahan bawah umur”.

“Dan perlu dipahami, bahwa UU No.1 Tahun 1974 adalah mengadaptasi Hukum Islam, sehingga melaksanakan UU tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk menjalankan hukum Islam bagi muslim Indonesia”.

“Kalau kita dianggap mendukung bahkan me-legal-kan pernikahan bawah umur, tidak pak, karena untuk dapat menikah resmi, kita ada SOP (Standard Operational Procedure). Bila tidak sesuai dengan SOP, maka pernikahan resmi tidak akan terjadi”.

“Calon pengantin, terlebih dahulu harus memenuhi syarat mulai dari adanya SKUN (Surat Keterangan Untuk Menikah) dari Pembakal/Kepala Desa, isi SKUN (N1= Keterangan untuk menikah; N2=Keterangan tentang asal usul; N3= Persetujuan mempelai; N4= Keterangan tentang orangtua; N5= Izin orangtua (bila dibawah 20 tahun); N6=Keterangan kematian (bila duda/janda); N7=Pemberitahuan kehendak menikah”.

“Persyaratan lain; Dispensasi pengadilan agama (bila dibawah umur); Izin poligami dari Pengadilan Agama (bagi ASN, TNI/Polri); Akta Cerai asli dari Pengadilan Agama (bagi Janda/Duda); Izin Atasan (bagi TNI/Polri); Dispensasi camat (bila pengajuan pernikahan kurang dari 10 hari dari pelaksanaan akad nikah); e-KTP, Kartu Keluarga, pas foto latar biru; Keterangan Kesehatan dan Imunisasi; dan Rekomendasi KUA Kecamatan asal, apabila pelimpahan”.

“Nah, apabila kelengkapan persyaratan tersebut sudah terpenuhi, kedua mempelainya beserta walinya hadir di KUA untuk diverifikasi dan pembekalan (penasihatan) sebelum akad nikah”.

“Saat pembekalan nikah inilah, calon pengantin dibekali “Empat Kesiapan”: 1. Kesiapan Biologis (umur ideal, sehat jasmani rohani, kesehatan reproduksi bahwa wanita siap hamil diatas 20 tahun); 2. Kesiapan Finansial (calon suami sudah bekerja, mandiri, dan suami-istri bisa mengelola keuangan dengan baik); 3. Kesiapan Mental (dewasa emosi, bisa mengambil keputusan, dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil –walaupun hanya dilakukan salah satu pihak– menjadi tindakan hukum yang mengikat suami isteri). 4. Kesiapan Agama (mengenal yang haq dan batil, halal haram, baik buruk, melaksanakan kewajiban agama, kewajiban dan hak suami-istri-anak, pendidikan dalam keluarga, adaptasi dan bersosialisasi di masyarakat, dll)”.

“Program kita itu sebenarnya seiring sejalan dengan instansi Pemerintah yang lain, walaupun secara UU “belum sama” dari segi umur usia nikah, di lapangan kita mengupayakan pendewasaan usia pernikahan, selain Kemenag, instansi lain itu misalnya BKKBN, melalui Pil KB mereka ada Program GenRe (Generasi Berencana), yang mengkampanyekan pendewasaan usia perkawinan, bahwa usia ideal menikah bagi laki-laki adalah minimal 25 tahun, dan perempuan minimal 21 tahun, walaupun tidak ada jaminan akan mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya”.

“Dan perlu diketahui, seluruh layanan KUA adalah gratis, termasuk menikah, asalkan memenuhi persyaratan di atas. Menikah barulah membayar, apabila menikah di luar balai nikah KUA, dan/atau di luar hari kerja atau jam kerja, dan itu disetorkan ke rekening kas Negara oleh mempelai yang bersangkutan, sebesar Rp600.000,- dan berlaku sama di seluruh Indonesia, artinya di KUA mana haja sama”.

“Kebanyakan urang tahunya KUA itu urusan nikah aja, padahal banyak lagi tugas KUA, di antaranya pembinaan pendidikan Madrasah, Ponpes, Majelis Taklim, Tempat Ibadah (Masjid/Mushalla, dll), Wakaf, Waris, Haji, pengembangan Tilawatil Quran melalui TPA dan LPTQ, Kerukunan Umat Beragama melalui FKUB, dan lain-lain.”

“Maaf ulun mamagat panderan kita, ulun handak babulik ka kantor, berapa cil ampun ulun”.

“Terima kasih pa KUA info dan penjelasannya, makan pian biar ulun ja gin mambayari, berapa cil ampun ulun lawan pa KUA ….?”.

“Kaya itukah, mudahan rezeki pian batambah dan beberkah, terima kasih, minta rela’ai lah ulun, assalamu’alaikum wr.wb”.(*)