Tak Berkategori  

“Mendaki…, Kalau Jatuh sudah Nggak Kehitung”

BANJARBARU – Mendaki bukit atau gunung adalah rutinitas yang banyak dilakukan anak muda  ketika weekend atau saat hari libur. Meskipun gunung-gunung di Kalimantan Selatan hanya berupa gunung pasif, tapi saat kita berada di atasnya, pemandangannya tak kalah indah dengan gunung-gunung yang ada di pulau Jawa. Biasanya, mereka mendaki bukit saat sore lalu pulang ketika pagi atau menjelang siang.

Nah, bagaimana pendapat dan berbagai pengalaman para pendaki gunung dan bukit selama mereka melakoni hobinya tersebut ? Sepenuhnya akan saya ulas di dalam tulisan ini.

Banyak komunitas-komunitas pecinta alam dan penjelajah alam di sekitaran Kalimantan Selatan, entah itu organisasi yang mereka buat sendiri atau organisasi resmi dari kampus. Kebanyakan mereka mempunyai kegiatan rutin mendaki gunung atau bukit sampai mengadakan sebuah even yang berhubungan dengan alam.

Ngomong-ngomong soal hobi naik gunung, beberapa teman saya berbagi kisahnya selama mendaki. Rahmawati (29), mengaku sudah hobi mendaki gunung sejak tahun 2015. Dia tak mengikuti komunitas tertentu, hanya mendaki bersama teman-temannya.

“Aku termasuk salah satu penikmat alam bebas, saat mendaki aku nggak terlalu suka terlalu banyak orang. Karena menurutku, alam tuh harus menyajikan ketenangan bukan keributan. Pengalaman selama mendaki sih macam-macam, seru dan capek udah pasti karena banyak hal yang ditemukan saat pendakian. Dan yang utama solidaritas yang tinggi dan kerjasama antar sesama pendaki itu terlihat jelas, saat melintasi medan yang berat kayak sungai dengan rus yang deras atau meniti tebing yang bawahnya jurang dan sesama pendaki saling bantu melewatinya, itu tu berasa so sweetnya, haha,” ujarnya.

“Kalau jatuh pas mendaki itu udah nggak keitung berapa kali, hehe. Pernah juga ketemu lintah, sampai berdarah-darah karena dihisapnya. Haha…. manfaatnya merasa refresh aja otaknya karena setiap hari harus kerja. Dan beda jua rasanya ngumpul lawan kawan saat pendakian dengan yang cuma sekedar nongrong di kota,” imbuhnya.

Lain lagi dengan Fahru (24), dia mengatakan mendaki gunung itu bukan kegiatan yang aneh-aneh dalam artian merusak alam.

“Sebagai pendaki, justru kita harus ikut menjaga dan melestarikan alam yang indah. Terus kita bisa menambah silaturahmi sama orang yang belum kenal,” ujarnya.

Khusaini (20), mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri ini mengaku suka mendaki gunung untuk rame-rame ngumpul bersama teman-teman.

“Kami suka mendaki karena enak aja suasananya, pemandangannya bagus. Menambah keseruan ngumpul bersama kawan-kawan,” ucapnya.

Sedangkan menurut Septyan (23), banyak pengalaman yang didapat saat mendaki. Dia ikut tergabung dalam sebuah komunitas pecinta alam sejak dia masih menempuh studi di salah satu perguruan tinggi swasta,

“Banyak pengalaman yang di dapat. Cuman aku bangga masuk mapala, karena mapala tuh suatu organisasi seumur hidup karena kami no register (tanpa mendaftar) yang berbeda-beda di Indonesia. Dan juga di mapala tu aku bisa dikenal dengan suku, budaya, agama, ras dan lain-lain yang berbeda-beda dari sabang merauke dan kita mempunyai slogan “Kita Semua Keluarga”,” jelasnya.

“Banyak manfaat positif yang aku pelajari dan yang bisa ku dapat di Mapala, seperti ilmu tentang bagaimana kita melestarikan alam kita ini, kekeluargaan dan saling mengenal, serta saling menjaga satu sama lain,” tambahnya.(ana)