Religi  

Melihat Karamah Ulama Dari Riwayat Hidup Tuan Guru Bujang

KAPUAS, KORANBANJAR.NET – KH Abdul Wahab bin H Abdurrahmab atau yang lebih dikenal warga dengan julukan Tuan Guru Bujang, merupakan seorang ulama yang wara –seorang yang menjaga dirinya dari segala hal yang tidak baik–, pendiam dan mempunyai mata hati yang tajam.

Ketika bersekolah di Madrasah Nahdatussalam pada tahun 1941, Guru Bujang adalah adalah seorang murid yang amat dikasihi oleh guru-gurunya. Dia juga seorang yang mempunyai rasa kemauan yang tinggi dalam menuntut ilmu agama Islam, serta disiplin dalam menggunakan waktu.

Pada tahun 1952, di usianya yang sudah menginjak 18 tahun, Guru Bujang berpisah dengan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam Martapura, Kabupaten Banjar.

Selama menggali ilmu di Ponpes Darussalam Martapura, ia adalah sosok yang mempunyai sifat qanaah pada setiap orang.

Lulus dari Ponpes Darussalam, Guru Bujang kembali pulang ke kampung halamannya di Jalan Trans Kalimantan KM 11 Desa Anjir Serapat Tengah, Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalteng.

Dengan bekal ilmu agama yang telah diperolehnya, Guru Bujang dipercayakan menjadi seorang guru disebuah sekolah Madrasah Nahdatussalam, tempat sekolah ia dulu.

Pada tahun 1961, ia membuka Majelis Salawat Burdah yang bermarkas di rumahnya sendiri. Kegiatan-kegiatan dari Majelis Salawat Burdah bentukan Guru Bujang inipun masih berjalan hingga sekarang.

Pada masa kehidupan beliau, ada sebuah karamah –hal atau perkara yang terjadi secara luar biasa di luar nalar dan kemampuan manusia awam yang terjadi pada diri seorang wali Allah– yang pernah terjadi dan sempat tercatat di dalam kisah riwayat hidupnya. Ketika itu, Guru Bujang tengah dirawat di RS Islam Banjarmasin akibat sakit yang sedang dialaminya. Kemudian, ia pun meminta kepada serorang keponakannya agar membeli makanan dan minuman untuk diberikan kepada Syekh H Salman Jalil, yang akan datang besok hari menjenguknya di rumah sakit. Dengan tanpa berat hati, keponakannya tersebut langsung menuruti permintaan dari Guru Bujang.

Keesokan harinya, kedatangan Syekh H Salman Jalil pun ditunggu oleh keponakan Guru Bujang. Namun setelah beberapa lama menunggu, Syekh H Salman Jalil tak juga kunjung datang.

Anehnya, di sela waktu keponakannya menunggu kedatangann Syekh H Salman Jalil, Guru Bujang malah meminta keponakannya untuk menyuguhkan makanan dan minuman yang sudah disiapkan dari kemarin kepada Syekh H Salman Jalil.

“Kenapa kamu tidak menyuguhkan jamuan kepada Syekh H Salman Jalil?” Tanya Guru Bujang kepada keponakannya.

Sontak, pertanyaan Guru Bujang itupun membuat keponakannya kebingungan.

Pertanyaan dari Guru Bujang itu lalu dijawab dengan pernyataan oleh keponakannya dengan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun selain mereka berdua di kamar rumah sakit itu.

“Tidak ada seorang pun yang datang wahai guru ku,” jawab keponakannya seraya kebingungan.

Jawaban dari keponakannya itu lantas disahut Guru Bujang denga sahutan yang makna kalimatnya sungguh sulit diterima dengan nalar manusia awam.

“Berati Syekh H Salman Jalil datang secara sembunyi-sembunyi dan mata batin kamu telah ditutupi,” sahut Guru Bujang.

Tuan Guru Bujang wafat pada hari Sabtu tanggal 14 bulan Safar 1413 H atau tanggal 15 Agustus 1992 M, dan dimakamkan pada hari Minggu tanggal 15 Safar 1413 H atau 16 Agustus 1992 M di Desa Anjir Serapat Km 11, tepat di depan rumah beliau.

KH Abdul Wahab dikenal dengan julukan Guru Bujang karena pada semasa hidupnya, ia memang tak pernah menikah sama sekali. (*)

Ditulis Oleh Wartawan Koran Banjar, Miftahul Fajar, Berdasarkan Kisah Nyata Dari Buku Manaqib atau Riwayat KH Abdul Wahab

Editor: Redaktur Pelaksana Koran Banjar, Donny Irwan