Religi  

Manis Dagingan, Pantangan Masyarakat Banjar yang Masih Melekat

RAMLI, Barabai

TERLEPAS dari mitos dan kebenarannya, dalam sebuah tradisi perkawinan adat Banjar, masih banyak masyarakat Banjar mempercayai bahwa setiap calon pengantin yang akan melaksanakan acara perkawinan akan mengalami “manis dagingan”.

Ya, manis dagingan. Sebuah istilah dalam masyarakat Banjar yang maknanya bisa diartikan menjadi pamali atau pantangan. Lebih spesifiknya, manis dagingan ialah suatu hal yang dialami oleh kedua mempelai yang akan melaksanakan perkaiwnan.

Oleh karenanya, dalam sebuah tradisi perkawinan adat Banjar, calon pengantinnya dilarang pergi keluar rumah hingga seluruh rangkaian acara perkawinan diselesaikan.

Hal itu dikarenakan kepercayaan masyarakat Banjar yang meyakini bahwa daging dari tubuh setiap kedua mempelai yang akan melaksanakan perkawinan akan menjadi manis bagi makhluk gaib. Itulah sebabnya calon pengantin dilarang pergi keluar rumah agar tidak menjadi incaran bagi makhluk gaib yang bisa mencelakai calon pengantin yang bersangkutan.

Seperti yang dituturkan oleh Rahmatillah, warga Lepasan, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala (Batola), yang mempercayai manis dagingan bagi setiap calon pengantin.

“Saya percaya manis dagingan itu. Mereka –calon pengantin– yang manis dagingan dilarang keluar rumah karena rawan bahaya. Jadi istilahnya, menjelang acara perkawinan, calon pengantin harus dipingit di dalam rumah agar tidak kenapa kenapa,” tuturnya kepada koranbanjar.net.

Tak jauh berbeda dengan Rahmatillah, menurut Zainab, warga Desa Banua Binjai, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) pun mengerti tentang istilah manis dagingan ini.

“Manis dagingan ialah orang yang disenangi makhluk alam sebelah di saat menjelang acara hari perkawinannya. Makanya calon pengantin yang keluar rumah akan berbahaya,” ujarnya.

Namun, bagi perempuan yang baru menikah tiga minggu yang lalu ini, manis dagingan hanyalah sebuah mitos yang ada di masyarakat Banjar.

“Menurut saya manis dagingan itu hanya mitos. Misalnya sebelum hari H ijab kabul maupun resepsi, si mempelai ini jalan-jalan keluar rumah, mau membagi undangan perkawinan, ataupun ada keperluan lain yang mengharuskannya pergi keluar rumah. Jika pada saat itu si mempelai mengalami kecelakaan, maka menurut saya itu cuma kesalahan dari si mempelainya sendiri. Saya yakin saja setiap musibah itu sudah diatur oleh yang maha kuasa,” ungkapnya.

Lain halnya dengan Zainab, warga Barabai lainnya, Abdul Muin, membeberkan, manis dagingan tidak hanya terjadi pada orang yang mau melaksanakan perkawinan. Namun, menurut kakek yang sudah berusia 90 tahun ini, istilah manis dagingan juga berlaku pada anak-anak yang baru melaksanakan khitan –sunat–.

“Selain calon pengantin, anak laki-laki yang baru disunat juga manis dagingan. Mereka dilarang pergi keluar rumah. Kalau keluar rumah dan terjatuh hingga terkena alat vitalnya kan bisa menjadi hal yang tidak diinginkan,” bebernya.

Abdul Muin menjelaskan, istilah manis dagingan ini sudah melekat di masyarakat Banjar. “Karena tidak sedikit yang telah mengalami kejadian di luar nalar manusia, misalkan kecelakaan atau yang lainnya. Itulah sebabnya manis dagingan ini sudah menjadi tradisi bagi orang Banjar,” jelasnya.

Sepintas, istilah manis dagingan ini memang sulit diterima nalar manusia, namun begitulah kepercayaan yang ada di masyarakat Banjar. Terlepas mitos atau fakta, namun dibaliknya terselip makna yang dimaksudkan untuk lebih menjaga kondisi calon pengantin. (ami/dny)