MA ; Selama Bacaleg Mengemukakan Dirinya Mantan Napi, tak Dilarang Dicalonkan

JAKARTA – Mahkamah Agung pertengahan pekan lalu mengabulkan permohonan gugatan uji materi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU No.20/2018 pasal 4 ayat 3, yang intinya melarang mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Putusan ini langsung memicu kritik tajam terhadap MA yang dinilai menjauhkan diri dari hukum yang progresif, tidak menjunjung prinsip keadilan, hingga tudingan bahwa MA “menyetujui” masuknya kembali para koruptor ke dalam badan legislatif.

​Dihubungi VOA (afiliasi koranbanjar.net) melalui telepon Minggu malam (16/9/2018), Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah membantah semua tudingan itu.

“MA tetap konsisten dan konsekuen melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. MA hanya meluruskan demi tertib hukum sesuai muatannya bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi,” tegas Abdullah.

Peraturan yang dimaksud adalah PKPU No.20/2018 pasal 7 ayat 1 (g) tentang persyaratan menjadi calon anggota legislatif DPR, DPRD, DPRD Propinsi/Kabupaten, yang secara tegas melarang pencalonan mantan terpidana kasus narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi. Mahkamah Agung menilai peraturan ini bertentangan dengan UU No.7/2017, khususnya pasal 240 ayat 1 (g) yang memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri selama yang bersangkutan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana.

“Putusan MA tidak ada tendensi atau kepentingan politik apapun, dan semata-mata melakukan verifikasi dengan mendasarkan pada asas bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi,” ujar Abdullah menegaskan pernyataan sebelumnya.

Ditambahkan “selama bakal caleg itu mengemukakan secara terbuka kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana, maka ia tidak dilarang untuk dicalonkan. Konsekuensinya adalah apakah rakyat akan memilih atau tidak. Dipilih dan memilih merupakan hak asasi yang harus dihormati.”

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan belum dapat mengomentari putusan MA tersebut karena belum menerima salinan putusan secara resmi. Namun komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi kepada wartawan di Jakarta akhir pekan lalu menyerukan kepada partai-partai politik untuk mewujudkan komitmen mereka menarik caleg mantan napi korupsi.

Sementara anggota Ombudsman Ninik Rahayu kepada VOA mengatakan dapat memahami alasan Mahkamah Agung terkait tata urutan perundang-undangan itu, “meskipun jika dilihat dari logika hukum, substansi undang-undang-nya juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, dimana saat ini berupaya keras menghapuskan korupsi yang semakin marak.”

Ninik menggarisbawahi bahwa “langkah implementasi peraturan KPU adalah upaya terobosan, sekaligus korektif, yang kemudian disempurnakan dalam bentuk penetapannya sebagai undang-undang.”

Lebih jauh Ninik Rahayu menilai saringan utama kini ada di tangan partai politik. “Kepesertaan atau tidaknya mantan pelaku tindak pidana korupsi menjadi bacaleg dan caleg pada pemilu 2019 tidak digantungkan pada PKPU No.20/2018 atau pada keputusan MA yang mencabut PKPU dan intinya memutuskan bahwa selama bakal caleg mengemukakan secara terbuka kepada publik bahwa ia adalah mantan napi maka tidak dilarang mencalonkan diri. Kepesertaan ini tergantung partai, yang sedianya menjadi “palang pintu” proses rekrutmen anggota, pengkaderan, pendidikan dan pematangan para kader untuk dikontestasikan dengan kader dari partai lain.” Intinya, tambah Ninik, “yang menjadi palang pintu adalah integritas calon.”

Mahkamah Agung menyarankan KPU mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Pemilu No.7/2017 dengan memasukkan syarat mencalonkan diri sebagai caleg yang ada dalam peraturan KPU, yang kini menjadi polemik.(em/voaindonesia.com/sir)