Religi  

Ketika Profesi Wartawan Dinilai tak Bermartabat

Berprofesi menjadi seorang kuli tinta atau yang sering kita kenal sebagai wartawan, bagi saya merupakan suatu pilihan hidup.

Meski dalam profesi ini tak banyak yang dapat dibanggakan seperti seorang PNS atau pejabat pemerintah, namun menjadi seorang wartawan adalah pekerjaan yang teramat prestisius bagi saya.

Mengapa tidak? Ketika saya berhasil mengungkap suatu kasus hingga tuntas yang dimana kasus tersebut menyangkut kepentingan orang banyak atau menyangkut hak rakyat kecil yang diambil, ketika itu pula saya merasa ada suatu kepuasan yang memenuhi batin saya.

Ketika berhasil menyuarakan suara rakyat kecil, diakui atau tidak, dikenang atau dilupakan begitu saja, bagi saya bukan perkara nilai yang patut dipertimbangkan bagi seorang pengungkap kasus berkartu identias jurnalis.

Sebab, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seorang wartawan yang memegang erat kode etiknya menjadi seorang pengontrol kesenjangan sosial di tengah masyarakat.

Namun percaya atau tidak, di tempat kelahiran saya, di Marabahan, yang masih saya tinggali hingga saya berusia 30 tahun seperti saat ini, menurut pengalaman kecil saya, pekerjaan menjadi seorang jurnalis bukanlah suatu profesi yang bermartabat.

Tentu, saya tidak mengatakan ini adalah penilaian negatif kepada seorang wartawan berdasarkan penilaian semua orang di Bumi Ije Jela ini. Akan tetapi, dari awal saya berkutat menjadi seorang jurnalis, di kota kecil ini, hingga saat ini, saya sering menemui sejumlah orang yang mengatakan bahwa profesi seorang wartawan adalah profesi yang jauh dari kesejahteraan.

Kemudian, dari sebuah diskusi ringan dengan seorang teman saya di sebuah kamar tamu yang berhadapan langsung dengan televisi di rumahnya, teman saya pernah bilang, seorang wartawan itu memang suka mengungkap kasus orang namun akan tutup mulut jika diberi uang.

Lantas, saya langsung bertanya ke teman ini, apakah kamu tidak pernah memerlukan seorang wartawan? Dengan jawaban yang menurut saya lucu, ia lantas mengatakan, saya tak perlu wartawan karena saya hanya rakyat biasa.

Setelah ia menjawab dengan ketus pertanyaan saya tersebut, lucunya, teman saya ini langsung memindah stasiun televisinya ke stasiun televisi yang sedang menayangkan sebuah acara berita dan menyaksikannya hingga acara habis.

Sejenak saya berpikir pada saat itu, mungkin teman saya ini belum mengerti bahwa berita yang ia cari dan tengah ia saksikan di televisinya itu berdasarkan sajian dari seorang wartawan yang beberapa detik sebelumnya ia katakan tidak pernah memerlukan keberadaan seorang wartawan.

Tak hanya sampai di situ, saya juga pernah mendengar dari seseorang yang saya sangat kenal yang mengatakan bahwa wartawan itu kerjaannya hanya keluar masuk kantor orang untuk meminta uang dan menawarkan iklan saja.

Tanpa saya sampaikan langsung kepadanya, benak saya berujar, sungguh orang ini tidak mengerti tugas wartawan tapi bisa-bisanya berkomentar seperti itu. Ia sangat tidak mengetahui bahwa yang bertugas menawarkan iklan itu adalah sebuah tanggung jawab dari bagian marketing pada sebuah perusahaan media. Ia juga tidak mengetahui bahwa tidak semua wartawan seperti itu.

Ini yang saya katakan di atas, menjadi wartawan, khususnya di Marabahan, ternyata dinilai bagi sejumlah orang bukanlah suatu pekerjaan yang bermartabat.

Memang harus diakui, terkait kesejahteran, pekerjaan seorang jurnalis bukanlah pekerjaan untuk menuju kekayaan.

Ini sangatlah wajar, karena pekerjaan seorang wartawan bukan hanya perkara uang. Ia lebih dari itu. Seorang wartawan yang baik adalah seorang insan yang mencita-citakan profesinya sebagai pengontrol sosial dibalik semua kesenjangan yang ada tanpa harus dihargai dengan sejumlah uang yang bukan haknya.

Namun persoalannya adalah, ketika tugas baik dari seorang wartawan dinodai oleh sejumlah orang yang mengatakan dirinya adalah ‘wartawan’, dan bahkan masyarakat tidak bisa membedakan yang mana wartawan dan yang mana ‘wartawan’, maka mungkin inilah sebabnya integritas wartawan sejati menjadi banyak dikatakan sejumlah orang hanya mementingakn uang saja.

Seperti diketahui, seseorang atau segelintir orang yang mengaku dirinya wartawan padahal tidak, dalam dunia jurnalistik dikatakan sebagai wartawan bodrek atau wartawan muntaber alias wartawan muncul tanpa berita.

Di tempat saya, sekelompok wartawan bodrek ini sangat berani dan bergerak secara masif bahkan tampil dengan sangat percaya diri. Biasanya target mereka adalah mendatangi para pejabat di acara-acara seremonial terbuka dengan secara jelas meminta uang lelah.

Yang lebih berbahayanya lagi, terkadang si wartawan bodrek ini juga muncul dengan bersenjatakan kartu identitas dan surat tugas, bahkan mereka bisa menyebut nama media yang menugaskan mereka. Akan tetapi karena bukan wartawan, tentu saja nama media yang mereka sebut terdengar tidak familiar bahkan tidak pernah diketahui sama sekali sebelumnya.

Saya sering menemui wartawan muntaber ini ketika bertugas. Untuk mengungkap kebohongan mereka gampang saja, tanyakan perusahaan medianya apa dan kantornya dimana, lalu tanyakan koran atau majalahnya mana. Walaupun mereka dapat menjawab, tapi jawaban yang diberikan pasti bohong.

Bahkan, berdasarkan data yang pernah saya ketahui, wartawan bodrek di Marabahan ini berjumlah lebih dari 20 orang dengan berbagai nama media lingkup Batola.

Parahnya lagi, baru-baru tadi di bulan Ramadan ini, saya diperlihatkan 2 lembar surat oleh teman saya yang bekerja di sebuah badan milik pemerintah. Isi suratnya meminta kepada pihak yang dituju dalam surat untuk memberikan bantuan seikhlasnya dalam rangka santunan Idul FItri untuk sejumlah orang yang terlampir di surat atas nama sebuah aliansi jurnalis. Ini wartawan apa mau minta sumbangan?

Tentu hal seperti itu bukanlah tugas dan hak sebagai seorang wartawan.

Saya rasa, kemunculan para wartawan bodrek inilah yang membuat citra para wartawan sejati menjadi tercoreng. Terlebih, para masyarakat awam tidak bisa membedakan antara wartawan sebenarnya dengan wartawan bodrek.

Fenomena sosial kemunculan wartawan bodrek yang entah dari mana asalnya ini, khususnya di era reformasi sekarang, sudah seharusnya kita sikapi sebagai wartawan sejati dengan sebuah ketajaman idealisme yang berakar dari kode etik jurnalistik.

Semua orang mungkin bisa saja menjadi wartawan, apalagi menjadi wartawan gadungan. Namun, idealisme seorang wartawan sejati tidak akan pernah disamai dan ditiru oleh sembarang orang.

Di saat citra wartawan sudah terlanjur dipersepsikan oleh sejumlah masyarakat sebagai profesi pemeras uang atau tukang minta uang sebagai akibat ulah dari para wartawan bodrek, maka tantangan kita sebagai jurnalis adalah membuktikan kredibelitas dan integritas kita sebagai wartawan yang mempunyai idealisme dengan ketajaman berpikir untuk sebuah karya berita yang tajam, mengkritik, tanpa takut dan mengatasnamakan hak orang banyak.

Sebab, atas segala dinamika yang kerap rumit dalam dunia jurnalistik, terdapat sebuah idealisme sebagai senjata terakhir yang seharusnya dipunyai semua jurnalis di muka bumi ini. Dia (idealisme) takkan pernah ternilai harganya dari apapun.

Saya bukan jurnalis besar, saya hanyalah seorang jurnalis kecil dari sebuah perusahaan media berskala lokal Kalimantan yang saat ini berkedudukan di Sungai Ulin Banjarbaru, Kalsel, sebuah perusahaan media yang menurut saya saat ini belum terlalu besar namun militan dan mempunyai kredibelitas yang kami yakini akan menjadi the next newspaper of borneo di tengah era digital.

Dalam esai saya kali ini saya berpesan, pekerjaan menjadi seorang pemburu berita bukanlah perkara harus selalu tentang uang dan bukan pekerjaan untuk meraih kekayaan. Walaupun dapat dikatakan semua orang suka uang, namun, kembali lagi, apakah cara mendapatkan uang itu sudah benar?

Dengan idealismenya, seorang wartawan harus merasa cukup, puas dan bersyukur atas karya tulisnya yang dihargai oleh pihak manajemen di perusahaannya masing-masing melalui gaji yang dibayarkan kepadanya.

Adanya hak dan kewajiban berupa gaji antara pihak manajemen terhadap wartawan, tentu cara menerima uang atau bahkan meminta uang oleh wartawan kepada pihak lain yang biasanya dijadikan sebagai narasumber, tidak dibenarkan. Ini yang akan membedakan wartawan berintegritas dengan wartawan bodrek.

Oleh: Donny Irwan, Redaktur Pelaksana Koran Banjar

Email: [email protected]