Caleg yang Mengumbar Janji dengan Sumpah, Disebut Gila!

BANJAR, KORANBANJAR.NET – Money Poitic (Politik Uang) sudah membudaya terjadi di tengah masyarakat, bahkan sulit dihindari. Hal ini tidak terlepas dari fakta yang terjadi.

Di satu sisi, partai politik atau calon legislatif yang mencoba berpolitik bersih, hanya sebagian kecil yang berhasil mendulang suara, bahkan lebih banyak gagal. Sebaliknya, stigma menggunakan money politic pada faktanya justru berpeluang “sukses” memperoleh suara terbanyak.

Hal ini tentu saja bukan sebuah pendidikan berpolitik yang ideal, tetapi menjadi sebuah demokrasi politik yang rusak. Tidak heran, banyak kalangan yang menyayangkan cara tersebut. Lebih-lebih jika caleg atau parpol yang mengumbar janji dengan berbagai sumpah. Hal ini tidak hanya menjadi sebuah perbuatan keliru, tetapi sudah dianggap gila.

Kepala Desa Bawahan Selan, Akhmad Rozani berpendapat, masyarakat sekarang pintar memanfaatkan sikon. Calon yang takut kalah pasti “terpaksa” keluarkan dana untuk meraih dukungan. Pun kalau calon tidak memberi, tetap saja warga minta yang macam-macam dengan berbagai alasan. Jadi serba salah.

“ Kebanyakan warga beranggapan, terutama bagi caleg, mereka secara umum beranggapan kalau sudah terpilih pasti lupa akan janji. Muncul pun ndak lagi, silaturahmi juga ndak mau. Bahkan ini sudah ada caleg yang membentuk tim keliling sambil buat pernyataan dukungan dan dibuatkan kartu anggota partai tertentu, gila lagi pakai janji. Contoh, demi Allah kami bersumpah akan setia terhadap partai dan mendukung untuk jadi anggota DPRD,
gila kan???” ucapnya.

Setelah tanda tangan, ungkapnya, kemudian diberi uang. “Itu sudah terjadi di tempat kami, memang ini sangat tidak mendidik, masyarakat jadi suka akan hal ini. Meski tidak sedikit dari mereka sudah habis uang banyak, namun tidak terpilih juga.

Rozani menambahkan, apapun alasannya, money politik tidak mendidik, sebenarnya ujung-ujungnya warga juga yang dirugikan, karena sudah banyak bukti, caleg terpilih malas untuk kunjungan ke warga/dapilnya karena beranggapan mereka sudah banyak ke luar uang untuk duduk. Sulit memang menghilangkan kebiasaan ini.

“Kalau ada yang beranggapan menguntungkan, keuntungan yang mana ? Wong cuman sekejap aja, waktu pencalonan doang dapat uang. Jangan-jangan cuma 100 ribu. Tapi aspirasi tak tersalurkan,” jelasnya.

Dia cuma bisa menghimbau, kalau memang terpaksa terima uang, bukan berarti pilih orangnya. Dengan kata lain, terima uangnya, namun memilih orang yang sesuai hati nurani atau yang tepat.

“Kalau ini bisa dilaksanakan, saya yakin caleg berikutnya gak bakalan berani lagi money politik. Money politics hanya untuk orang penakut. Kalau memang caleg itu baik, ulun yakin akan dipilih warga meski tanpa uang,” tutupnya.(mj-20/sir)