Tak Berkategori  

“Bencana” Politik Itu Dinamakan Donggala

Oleh Pimred KoranBanjar.net : Denny Setiawan

MUNGKIN Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”

Syair lagu yang pernah didendangkan penyanyi balada, Ebiet G Ade itu sepertinya telah mengingatkan kita pada rentetan bencana yang melanda negeri ini. Gempa di Lombok, tsunami di Donggala Palu Sulawesi Tengah hingga terbaru, gempa di Situbondo Jawa Timur.

Jutaan warga meninggal dunia, puluhan ribu rumah porak poranda dan tak terhitung fasilitas umum berantakan. Apakah semua hanya sebuah peringatan dari Tuhan? Itu adalah sebuah hukuman.

Beberapa hari setelah gempa terjadi di Lombok, seorang teman bercerita, “Bagaimana Tuhan tidak murka, la…wong di pantai Lombok itu maksiat berlangsung sebebas-bebasnya. Warga asing bebas bertelanjang seperti di negeri mereka.”

Begitu pula selang 2 hari setelah tsunami menyapu Palu dan menenggelamkan 800 rumah dan menghancurkan ratusan rumah lainnya di Donggala, tontonan memalukan berseliweran di media sosial, bagaimana sepasang gay berciuman dan bercumbu mesra di tengah umum bak pasangan berlainan jenis.

Sementara itu, para pemimpin, elit politik, sebagian kyai dan sebagian pemuka agama hanya sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Lebih ironis, berbagai bencana yang terjadi bukan menjadi sebuah perenungan untuk saling memperbaiki, justru hanya menjadi sebuah “komoditas” kepentingan politik.

Bencana bukanlah sebuah bencana, bencana menjadi sebuah momentum untuk “mempertontonkan” rasa empati yang sesungguhnya tidak manusiawi. Penderitaan rakyat menjadi “alat” agar disebut hebat dan merakyat.

Lantas, apakah Tuhan akan menghentikan bencana? Bencana demi bencana akan terus bermunculan, keserakahan para pemimpin untuk memperoleh kekuasaan dibayar dengan tangisan dan kepiluan penduduk negeri ini.

Tanpa sadar, begitu satu golongan di antara kalian mengalahkan satu golongan lainnya hingga memperoleh kekuasaan, pertama-pertama yang tidak bisa dielakkan, kalian akan sibuk memulihkan daerah yang kalian akibatkan.

Negeri ini tengah dilanda “bencana”‘ politik, salah satunya bernama Donggala. Sebagian ulama yang notabene sebagai pemberi peringatan, sebagian harus terseret dalam situasi konspirasi politik sebagai pembenar kepentingan. Ulama yang menjadi panutan, malah saling gontok-gontokan.

Rakyat butuh ulama yang menyejukkan di tengah penderitaan bencana yang mengharukan. Bukan ulama yang mampu dikendalikan oleh kekuasaan.(*)