Religi  

Adipura Hanya Dijadikan Sebagai Komoditas Politik

ADIPURA adalah sebuah penghargaan yang dianugerahkan untuk kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Penghargaan ini diselenggarakan setiap tahun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.

Pada awalnya, penghargaan Adipura dilaksanakan sejak tahun 1986. Walaupun sempat terhenti pada awal era reformasi 1998, selanjutnya program Adipura kembali diadakan di Denpasar Bali pada tanggal 5 Juni 2002 hingga sampai saat ini.

Pada dasarnya, Adipura diadakan dengan tujuan untuk memacu semua kabupaten atau kota yang ada di Indonesia agar menjadi kota bersih dan teduh. Karenanya, kriteria dalam penilaian Adipura pun terdiri dari beberapa indikator, diantaranya indikator kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan serta keteduhan kota, dan indikator non fisik pengelolaan lingkungan perkotaan yang meliputi institusi, manajemen dan daya tanggap.

Oleh karena itu, program Adipura dianggap oleh pemerintah pusat sebagai salah satu solusi dalam menghadapi berbagai isu terkait persoalan lingkungan yang kian hari makin kompleks.

Namun dalam perkembangannya, kini penghargaan Adipura seolah hanya dimanfaatkan untuk komoditas politik bagi para kepala daerah yang haus akan penghargaan. Bukan hanya sebatas prestasi, penghargaan Adipura pun dianggap sebagai prestise tersendiri bagi seorang kepala daerah demi memenangkan hati rakyat serta mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat agar bisa menjadi bargaining politiknya. Upaya untuk meraih penghargaan Adipura hanyalah demi mencitrakan sebuah pencapaian kepentingan yang tidak untuk bersama. Tujuan mulia dari program Adipura telah dievolusi menjadi peluang untuk mendapatkan pengakuan bagi para mereka yang candu jabatan.

Saya menjadi teringat pada sebuah peristiwa yang sangat mencoreng tujuan mulia Adipura beberapa tahun lalu. Persisnya, sekitar 8 tahun lalu pada tahun 2010, Walikota Bekasi ditahan karena diduga menyuap pejabat di KLHK demi untuk mendapatkan sebuah penghargaan Adipura. Hingga pada tahun 2011 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan dengan menemukan adanya aliran dana tak wajar dari Pemkot Bekasi yang dipimpin Mocktar Muhammad ke panitia Adipura.

Padahal, esensi dibalik penghargaan mulia Adipura seharusnya dimaknai sebagai pendorong penyelesaian berbagai isu permasalahan lingkungan hidup diantaranya seperti pengelolaan sampah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pemanfaatan ekonomi dari pengelolaan sampah dan RTH, pengendalian terhadap pencemaran air dan udara, pengendalian dampak perubahan iklim, pengendalian dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan, pengendalian karhutla, serta penerapan tata kelola pemerintah yang baik.

Namun pada praktiknya, pemerintah kabupaten atau kota selaku kompetitor dalam meraih penghargaan Adipura seakan melupakan esensi mulia dari penghargaan Adipura tersebut.

Dalam upaya meraih penghargaan Adipura, pemerintah kabupaten atau kota berorientasi secara instan pada lingkungan dan melakukan berbagai aksi pro lingkungan yang katanya telah melibatkan dan bekerja sama dengan masyarakat. Kegiatan bersih-bersih pun menjadi mendadak kerap dilakukan dengan skenario berbagai tema serta propaganda publikasi.

Nyatanya, kegiatan bersih-bersih yang biasanya diakui sebagai aksi peduli lingkungan itu hanyalah manipulasi dari sebuah upaya yang pada praktiknya hanya bertujuan tunggal, yaitu sebuah pencapaian demi mendapatakan penghargaan Adipura. Sehingga dalam upaya mendapakan penghargaan Adipura, para kepala daerah membuat berbagai program dengan menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk menjadikan daerahnya bersih dan teduh. Terkadang program itupun terkesan dipaksakan dan kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Bahkan tak jarang dipersepsikan negatif karena dianggap merugikan masyarakat kecil. Penggusuran para pedagang kaki lima dan warung-warung serta pembersihan jalan protokol, pasar dan tempat-tempat yang menjadi titik pantau dalam penilaian Adipura pun menjadi sering terdengar.

Tindakan menghalalkan segala cara seperti itu di dalam konteks bangsa yang beradab dan beretika di republik ini tentu tidak etis. Apalagi negara kita bukan penganut ideologi Machiavelli yang berpendapat bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya.

Mengamati beberapa masalah di atas, sudah sewajarnya jika saat ini pelaksanaan program Adipura dievaluasi, khususnya pada pelaksanaan teknis penilaian Adipura yang dilakukan dengan cara terbuka. Seharusnya, penilaian dilakukan dengan cara tertutup dan rahasia tanpa pemberitahuan apapun agar hasil penilaian yang didapat lebih natural dan dapat merepresentasikan nilai bagi kesuluruhan kabupaten atau kota.

Sedangkan untuk pemerintah daerah, seharusnya Adipura dimaknai hanya sebagai bonus. Karena sejatinya yang terpenting dalam menuju kota yang bersih dan teduh sesuai dengan kriteria penilaian Adipura adalah harus memiliki masyarakat yang mempunyai perilaku dan kepedulian akan pentingnya lingkungan yang sehat dan bersih terlebih dahulu.

Masyarakat yang berperilaku peduli terhadap lingkungan tidak akan didapat dengan hanya menerapkan program-program yang merujuk kepada aksi lingkungan bersih yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah daerah.

Dalam hal ini, permerintah daerah harus melakukan pembentukan kesadaran masyarakat karena kota yang bersih tidak akan pernah terealisasi tanpa peran aktif masyaraktnya. Untuk itu, pemerintah daerah harus mempunyai program edukasi kepada masyarakat yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Selain edukasi, untuk memumbuhkan kesadaran kolektif, pemerintah daerah juga harus melakukan kampanye dengan propaganda melalui media komunikasi. Dengan komunikasi secara intensif kepada masyarakat, program menjaga kebersihan dan keteduhan kota dapat mudah direalisasikan secara kolektif.

Selain dua hal di atas, yang lebih utama yang harus dilakukan, pemerintah daerah harus menerapkan penegakan hukum dengan mempunyai regulasi serta aturan yang jelas tentang kebersihan lingkungan dan perilkau masyarakat yang dapat mencermari lingkungan. Hal ini mengingat kebersihan dan keteduhan kota sangat berkaitan erat dengan kedisiplinan masyarakat.

Penegakan hukum mejadi bagian yang tak terpisahkan dalam penerapan disiplin di bidang apapun. Dalam hal ini, peraduran daerah (perda) tentang kebersihan dan keteduhan kota harus tersedia. Perda tersebut harus berisi kewajiban bagi segala pihak terkait agar menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dengan sanksi bagi merka yang melanggarnya. Perda ini bukan hanya mengatur individu dari warga, tetapi juga mengatur para pelaku usaha atau institusi. Para pengelola kantor, perusahaan, rumah sakit, sekolah dan sebagainya wajib menjaga kebersihan lingkungan dan mempunyai RTH. Penanaman pohon pun harus diatur jumlah minimalnya, misalnya harus menanam 10 persen pohon dari luas tanah yang dimiliki.

Jika semua program ini dilaksanakan dengan baik, maka Adipura bukan lagi soal cita-cita, tetapi Adipura akan menjadi nyata.

Jadi pada dasarnya, dalam tujuan mempunyai kota yang bersih dan teduh, selain melakukan kegiatan-kegiatan kebersihan, pemerintah daerah harus berfokus pada pembentukan perilaku serta kepedulian masyarakat yang mementingkan lingkungan sehat dan bersih dengan didasari dengan penegakan hukum yang jelas. Pembentukan kepedulian dari masyarakat terhadap lingkungan yang bersih tentunya harus harus diupayakan oleh kepala daerah melalui tata kelola pemerintahan yang baik dengan berorientasi terhadap lingkungan secara sungguh-sungguh dengan mengacu pada langa-langkah yang tertulis di atas.

Jika kepedulian masyarakat terhadap pentingnya lingkungan yang sehat dan bersih sudah terbentuk, maka langkah-langkah pemerintah dalam melakukan kegiatan kebersihan lingkungan pun tidak perlu lagi dilakukan secara sistematis dan terstruktur namun pada akhirnya tidak berkesinambungan karena hanya mengharapkan penghargaan Adipura. Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat, akan dengan sendirinya mempunyai rasa kepedulian terhadap kebersihan dan keindahan lingkungan. Dengan begitu, kepala daerah yang mempunyai masyarakat dengan kepedulian tinggi terhadap lingkungan yang bersih sekiranya tidak perlu lagi menjadikan penghargaan Adipura sebagai salah satu parameter keberhasilan kinerja kepemimpinannya. Karena memiliki masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan, merupakan kebanggaan sejati yang tak mampu tertandingi meski dibandingkan dengan prestisiusnya penghargaan Adpiura yang sudah berubah menjadi komoditas politik.